Penelusuran Rancangan Undang – Undang Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RUU – APBN-P) 2012
I GEDE KARNANTA
Program Study Ilmu Hukum (S1)
UNIVERSITAS MATARAM
2012
Kata Pengantar
Puji syukur penulis penjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,
yang atas rahmat-Nya maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang
berjudul “Penelusuran Rancangan Undang-Undang
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2012”.
Dalam Penulisan
makalah ini penulis merasa masih banyak kekurangan-kekurangan baik pada teknis
penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki penulis. Untuk
itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi
penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Dalam penulisan makalah ini penulis menyampaikan ucapan terima
kasih yang tak terhingga kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan
penelitian ini, khususnya kepada :
1. Bapak Johny Koynja, S.H,
M.Hum
2. Teman-teman
Secara khusus
penulis menyampaikan terima kasih kepada keluarga tercinta yang telah
memberikan dorongan dan bantuan serta pengertian yang besar kepada penulis,
baik selama mengikuti perkuliahan maupun dalam menyelesaikan makalah ini.
Semua pihak yang
tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah memberikan bantuan dalam
penulisan makalah ini.
Akhirnya penulis
berharap semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan imbalan yang setimpal pada
mereka yang telah memberikan bantuan, dan dapat menjadikan semua bantuan ini
sebagai ibadah, Amiin.
Penulis,
I Gede
Karnanta, CS
|
Daftar Isi
Ringkasan Materi
1.
A. Kenaikan BBM demi kebaikan bersama?
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah
B. Rumusan Masalah
1. Apakah
kenaikan BBM ini demi kebaikan masyakat Indonesia?
2. Bagaimana pendapat para pengamat hukum, pengamat
politik dan pemerintah tentang rumusan pasal 7 ayat (6) maupun
ayat (6a)?
3. Bagaimana
sisi politis dari Undang-Undang APBN-P dan diamandemennya Undang-Undang
APBN-P?
4. Apa yang kontroversial dari pasal 7 ayat (6) di rapat
paripurna?
5. Mengapa Undang-Undang APBN-P 2012 harus digugat ke
Mahkamah Konstitusi?
6. Apakah Undang-Undang APBN-P 2012 adalah bukti
kebobrokan Regim dan Sistem?
C. Tujuan Penelitian
D. Manfaat Penelitian
BAB II
PEMBAHASAN TEORI
2.
A. Kenaikan BBM demi kebaikan bersama?
Ketua
Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum menegaskan agar seluruh fraksi Partai
Demokrat mendukung kebijakan pemerintah soal kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM)
untuk menjamin keselamatan ekonomi nasional. Selain itu, Fraksi Demokrat berharap dengan adanya
bantuan diharapkan bisa menyelesaikan masalah ini. "Intinya bahwa
kebijakan itu diambil oleh pemerintah untuk menjamin keselamatan ekonomi
nasional adalah syarat utama keselamatan kehidupan rakyat kita. Oleh karena
itu, sama dengan menyelamatkan kehidupan rakyat secara keseluruhan, meski
kebijakan itu terasa sangat pahit," jelasnya di Jakarta. Ditambahkannya, perlu ada kebijakan-kebijakan baru
untuk perlindungan sosial. Baik dengan memberikan bantuan bersifat langsung
atau bantuan yang tidak langsung dalam bentuk program produktif.
"Intinya, Kebijakan itu konkritnya adalah
alokasi anggaran dan sekarang sedang dibahas di RAPBNP dan di situlah Fraksi
Demokrat berjuang habis-habisan untuk memperjuangkan itu untuk masuk ke
APBN," jelasnya.
Soal
kriteria orang-orang yang mendapatkan bantuan program tadi, Anas akan menjamin
hal itu akan tepat sasaran. Soal mekanisme pemberian bantuan tersebut juga bisa
dirundingkan. Namun, dia sendiri tidak bisa memasatikan itu semua akan diterima
oleh orang yang berhak.
"Tepat sasaran itu basisnya data, karena itu
pendataannya harus baik dan sempurna, tapi di dunia ini tak ada sempurna 100
persen, kalau ada ternyata salah sasaran 1 persen itu wajar di dunia, kalau mau
tepat sasaran 100 persen itu adanya di surga," katanya.[1]
B. Pasal 7 ayat 6A yang dibahas
Paripurna Bertentangan dengan Putusan MK
Fraksi PDI Perjuangan DPR RI menilai, keberadaan Pasal 7
Ayat (6a) bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 002/PUU-I/2003
yang membatalkan Pasal 28 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang
Minyak dan Gas Bumi.
Demikian pernyataan Wakil Ketua Bidang Pengaduan Masyarakat Fraksi PDI Perjuangan DPR RI, Eva Kusuma Sundari.
Demikian pernyataan Wakil Ketua Bidang Pengaduan Masyarakat Fraksi PDI Perjuangan DPR RI, Eva Kusuma Sundari.
Isi Pasal 28 Ayat (2) yang dianulir Mahkamah Konsititusi (MK), "Harga bahan bakar minyak dan harga gas bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar". Pasal 7 Ayat (6a) yang telah disepakati dalam Sidang Paripurna DPR RI, Sabtu dini hari, "Dalam hal harga rata-rata minyak Indonesia (Indonesia Crude Oil Price/ICP) dalam kurun waktu berjalan mengalami kenaikan atau penurunan rata-rata sebesar 15 persen dalam enam bulan terakhir dari harga minyak internasional yang diasumsikan dalam APBN Perubahan Tahun Anggaran 2012, maka pemerintah berwenang untuk melakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi dan kebijakan pendukungnya". Eva yang juga Anggota Komisi III (Bidang Hukum & Perundang-undangan, Hak Asasi Manusia, dan Keamanan) DPR RI itu menyatakan, meski kalah pada Sidang Paripurna dengan agenda pembahasan RUU APBN Perubahan 2012, PDI Perjuangan akan tetap memegang teguh konsistensi sikap pro-kedaulatan energi dalam pembahasan RUU APBN-APBN tahun fiskal mendatang. "PDI Perjuangan akan tetap memperjuangkan agar BBM diperlakukan sebagai barang publik (bukan barang dagangan) demi kepentingan rakyat," katanya.
Menyinggung
"walk out" (meninggalkan) pada sidang paripurna itu, dia menjelaskan
bahwa Ketua DPR RI Marzuki Alie yang memimpin sidang mengabaikan sikap politik
Fraksi PDI Perjuangan yang menolak adanya Pasal 7 (6a) di dalam RUU APBN
Perubahan 2012. "Penolakan
itu semata demi komitmen DPR RI terhadap prinsip konstitusionalisme," kata
Eva yang juga wakil rakyat berasal dari Daerah Pemilihan Jawa Timur VI itu.
Fraksi PDI Perjuangan DPR RI menyatakan kecewa
dan protes karena pertimbangan dan keberatan atas dua opsi pemungutan suara
yang tidak mengakomodasi sikap politik fraksi itu. Ia menjelaskan, penolakan FPDI Perjuangan terhadap
kenaikan harga BBM adalah konsekuensi penolakan terhadap pasal selundupan 7
Ayat (6a) dalam RUU APBN Perubahan 2012 yang bertentangan dengan Pasal 7 (6) di
UU APBN 2012. Pasal (7) Ayat (6) UU Nomor
22/2011 tentang APBN Tahun 2012 menyebutkan bahwa harga jual eceran bahan bakar
minyak bersubsidi tidak mengalami kenaikan. Menurut dia, pemungutan suara yang dikonstruksi pimpinan sidang
paripurna justru terhenti pada setuju-tidaknya Pasal 7 (6) UU APBN 2012 yang
secara substantif sudah menjadi norma karena sudah mendapat kesepakatan semua
fraksi, termasuk PDI Perjuangan.
Sementara
itu, kata dia, pidato Ketua Badan Anggaran (Banggar) Melchias Marcus Mekeng
justru menyebut secara eksplisit bahwa problem utama RUU APBNP 2012 justru pada
Pasal 7 (6a) yang belum ada kesepakatan semua fraksi sehingga pantas untuk
menjadi agenda pemungutan suara.[2]
3.
A. Beberapa pendapat tentang Rumusan pasal 7 ayat (6) dan
ayat (6a)
APBN-P 2012
Guru Besar
Universitas Indonesia (UI) dan pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra,
menegaskan, norma pasal 7 ayat 6A Undang Undang APBN-P 2012 potensial
dibatalkan Mahkamah Konstitusi. "Karena, selain mengabaikan kedaulatan
rakyat dalam menetapkan APBN, juga mengabaikan asas kepastian hukum dan
keadilan, sehingga potensial dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK)," ujar
Yusril. Ia juga mengemukakan, pihaknya tengah mempersiapkan draft uji formil
dan materil Pasal 7 ayat 6A UU APBNP 2012 ke MK. "Saya sudah telaah, bahwa
pasal 7 ayat 6A menabrak pasal 33 UUD 1945 seperti yang telah ditafsirkan
Mahkamah Konstitusi (MK)." Dikatakannya, saat ini pihaknya telah
mempersiapkan naskah uji materil pasal yang baru saja diputuskan DPR RI melalui
voting dalam rapat paripurna, Sabtu dinihari. Namun, Yusril yang juga mantan
Menkum-HAM itu menambahkan, uji materil ke MK itu belum bisa didaftarkan pada
Senin (2/4), karena masih harus menunggu perubahan UU APBN 2012 tersebut
disahkan dan diundangkan lebih dulu oleh presiden. "Pengujian tidak
hanya materil, karena bertentangan dengan pasal 33 dan pasal 28D ayat 1 UUD
1945, tapi juga formil karena menabrak syarat-syarat formil pembentukan
Undang-Undang sebagaimana diatur dalam UU No 12/2011," tegas Yusril.
Yusril berulang
menyatakan, norma pasal 7 ayat 6A selain mengabaikan kedaulatan rakyat dalam
menetapkan APBN, juga mengacuhkan asas kepastian hukum dan keadilan, sehingga
potensial dibatalkan MK. Disebutnya, adanya tambahan pasal 7 ayat 6A yang
berbunyi "dalam hal harga rata-rata minyak mentah Indonesia (ICP) mencapai
15 persen pemerintah boleh menaikkan harga BBM enam bulan ke depan",
bermakna harga BBM diserahkan pada mekanisme pasar. Padahal, berdasarkan
keputusan MK terhadap pasal 28 Undang-Undang (UU) Migas, harga BBM tidak boleh
diserahkan pada mekanisme pasar. Dengan demikian, adanya opsi pasal 7 ayat 6A
tersebut telah membuat DPR dianggap melanggar konstitusi UUD 1945.[3]
Dalam
pembahasan RAPBN-P 2012, rencana kenaikan harga BBM bersubsidi bulan
April terbentur Undang-Undang APBN 2012 yang tidak mengatur kenaikan harga BBM
bersubsidi. Menteri
Keuangan, Agus Martowardojo meminta DPR untuk mencabut pasal ayat 6 Undang-Undang
APBN 2012. Ayat ini mengamanatkan bahwa tahun ini tidak ada kenaikan harga
bahan bakar minyak. "Kalau
seandainya pasal 7 ayat 6 tidak dilepas, maka jumlah subsidi BBM akan meningkat
besar," jelas Agus Martowardojo saat rapat dengan Banggar DPR.
Untuk volume BBM bersubsidi dapat mencapai di atas 47
juta kiloliter. Angka itu akan melewati jumlah 2,5 defisit APBN. Bila digabung
dengan defisit APBD, maka jumlahnya akan melebihi 3 persen atau berpotensi
melanggar undang-undang. Jika nanti DPR
menyetujui pencabutan pasal tersebut, lanjut Menkeu, maka pembahasan soal
perubahan APBN 2012 tidak akan berlarut-larut. Selanjutnya, kata Agus,
pemerintah berharap mendapat dukungan dari Banggar DPR bila pemerintah harus
menaikkan harga BBM. Saat ini, harga
premium dijual di harga Rp4.500 per liter. Dalam RAPBNP 2012, pemerintah
mengusulkan kenaikan Rp1.500 per liter.[4]
Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono diminta tidak bersenang dulu dengan hasil Sidang
Paripurna DPR terhadap pengesahan perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara 2012 yang disebut APBN-P 2012. Khususnya, terkait dengan kenaikan harga
BBM. Sebab, Pasal 7 Ayat 6a yang
disetujui DPR antara lain oleh Partai Golkar didukung Partai Demokrat bersama
PPP, PAN, dan PKB, berpotensi melanggar UUD 1945, selain juga cacat prosedural
saat penyusunannya.
Hal itu disampaikan anggota DPR Rieke Diah Pitaloka.
"Jadi, jangan senang dulu, yang diketok di DPR (hari) Sabtu (itu) cacat
prosedural, melanggar Undang-Undang dan melanggar konstitusi (UUD 1945) karena
melawan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK)," tandas Rieke.
Pasal 7 Ayat 6a menyatakan pemerintah boleh menaikan
atau menurunkan harga BBM enam bulan ke depan jika harga rata-rata minyak
mentah Indonesia (ICP) mencapai 15 persen. "Pasal ini memungkinkan adanya
mekanisme pasar, padahal sumber daya alam dan mineral menjadi hajat hidup
rakyat banyak atau dikontrol pemerintah sesuai Pasal 33 UUD 1945," tandas
Rieke. Menurut Rieke, salah satu pasal di
UU Migas yang memungkinkan harga migas diserahkan pada mekanisme pasar telah
dibatalkan MK. Oleh sebab itu, APBN-P 2012 juga berpotensi dibatalkan. "Dua opsi yang ditawarkan oleh Ketua DPR Marzuki
Alie sudah menggiring DPR pada pelanggaran terhadap UU dan UUD 1945. Karena
Pasal 7 Ayat 6 yang berisi harga Jual BBM bersubsidi tidak mengalami kenaikan
sudah jadi UU, artinya tak boleh divoting lagi. "Pemaksaan opsi tersebut
artinya DPR melanggar UU," ujarnya lagi. Sedangkan tambahan Pasal 6a, lanjut Rieke, yang menyebutkan harga
rata-rata minyak mentah Indonesia (ICP) mencapai 15 persen pemerintah boleh
menaikan harga BBM enam bulan ke depan, artinya BBM tak boleh diserahkan ke
mekanisme pasar.[5]
B. MPR Nilai
Pasal Soal BBM di UU APBNP 2012 Tak Langgar Konstitusi
Wakil ketua MPR RI, Lukman Hakim Saifuddin,
mendukung dan menyetujui lahirnya Pasal 7 ayat 6a Undang-Undang APBN-P 2012.
Pasal kontroversial ini dinilainya tidak melanggar konstitusi. "Saya
merasa perlu menjelaskan bahwa lahirnya pasal baru tersebut sama sekali tak
melanggar konstitusi," kata Lukman. Bunyi pasal 7 ayat 6a Undang-Undang
APBN-P 2012 adalah memperbolehkan pemerintah menaikkan harga BBM jika ICP 15
persen dalam jangka waktu 6 bulan. Aturan ini dipandang cukup adil dan berpihak
kepada rakyat.
Lukman mejelaskan harga rata-rata minyak mentah Indonesia
(Indonesia Crude Price - ICP) ditentukan dengan patokan West Texas Instrument
(WTI) dan pasar komoditas New York. Namun, ICP diputuskan oleh kementerian
ESDM, BP Migas, dan Kemenkeu melalui peraturan menteri ESDM. "Meski harga
rata-rata minyak mentah Indonesia (ICP) ditentukan dengan menggunakan patokan
West Texas Instrument dan NYMEX (pasar komoditas New York), tapi pada dasarnya
ICP itu diputuskan oleh tim yang terdiri atas Kementerian ESDM, BP Migas, dan
Kemenkeu melalui Peraturan Menteri ESDM. Jadi, ICP bukan harga yg ditetapkan
pasar bebas, melainkan ditetapkan Pemerintah, yang merupakan instrumen yang
hanya ada pada UU APBN dan Undang-Undang APBN-P saja," ujar wakil ketua
umum DPP PPP. Sehingga bagi Lukman harga BBM Indonesia tidak ditentukan oleh
pasar bebas dan kenaikan harga BBM tergantung pada pemenuhan syarat yang
terdapat dalam ayat 6a. Ditambahkan, ayat 6a tersebut digunakan sebagai bentuk
kewenangan pemerintah dalam menaikan harga BBM dan kebijakan pendukung lainnya.
"Jadi, harga BBM kita bukanlah harga pasar bebas. Ia (Premium) tetap
mendapatkan subsidi (tak sebagaimana pertamax) dan kenaikannya hanya
dimungkinkan jika terpenuhi syarat sebagaimana ditentukan Pasal 7 ayat 6a
tersebut," ucap Lukman. "Lahirnya ayat baru itu dimaksudkan untuk
memberikan kewenangan kepada Pemerintah untuk lakukan penyesuaian harga BBM
bersubsidi dan kebijakan pendukungnya, di saat ICP alami kenaikan atau
penurunan melebihi 15 persen selama kurun waktu 6 bulan terakhir dari asumsi Undang-Undang
APBN-P 2012 yang dipatok USD 105," jelasnya. Lukman berdalih substansi
ayat 6a bukan kewajiban yang harus dijalankan oleh Pemerintah. Melainkan
kewenangan yang diberikan oleh negara kepada pemerintah. "Substansi ayat
baru itu bukanlah kewajiban yang harus dijalani Pemerintah. Ia adalah
kewenangan yang diberikan negara kepada Pemerintah. Artinya, meski harga minyak
dunia melambung sedemikian rupa, pemerintah bisa saja tak menaikkan harga BBM.
Tapi kalau akan menaikkannya, Pemerintah harus penuhi dulu persyaratan ayat
baru tersebut," ujarnya.
Sehingga disimpulkan oleh Lukman sifat pasal 7 ayat 6a
berbeda dengan Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang Migas yang dibatalkan oleh
Mahkamah Konstitusi. "Jadi, sifat keberadaan ayat baru tersebut berbeda
sama sekali dengan Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Migas yang dibatalkan Mahkamah
Konstitusi. Sebab ayat baru tersebut sifatnya lex-specialis atas ayat
sebelumnya, dan sama sekali tak mewajibkan pemerintah, melainkan memberi
kewenangan kepadanya, yang bisa digunakan dan juga tidak," tutup Lukman.[6]
4.
A. Sisi Politis Naik Turunnya BBM dan Kompensasi
Kenaikan Bagi Rakyat Kecil
Partai Demokrat (PD) dan Pemerintah mulanya berkeras agar
Pasal 7 ayat 6a yang diusulkan untuk ditambahkan dalam Undang-Undang APBN-P
2012, berisi ketentuan apabila terjadi lonjakan harga minyak produksi Indonesia
(ICP) rata-rata 10 persen dalam 3 bulan, maka Pemerintah berwenang menaikkan
harga BBM untuk menekan biaya subsidi. Sementara Golkar mengusulkan
lonjakan rata-rata 15 persen dalam 6 bulan. Usul Partai Demokrat ini akan kalah dengan usul
Golkar yang memang beda. Apalagi jika ditambah dengan usul PDIP, PKS dan
Gerindra serta yang lain, yang sama sekali tidak mau menambah bunyi Pasal
7 ayat (6) itu dengan ayat (6a) Undang-Undang APBN-P itu. Kalau ada 3 opsi,
maka DPR akan gagal ambil keputusan, karena tidak satu usulpun akan mencapai
dukungan mayoritas. Dalam menit terakhir menjelang voting, Partai Demokrat
rubah haluan ikut Golkar, sehingga mayoritas anggota DPR memilih opsi Golkar
yang didukung Partai Demokrat, PPP, PAN dan PKB. Dengan demikian
mereka mampu mengalahkan keinginan PDIP, PKS dan Gerindra yang tidak mau
menaikkan BBM. Harga BBM bisa dinaikkan, tapi bukan usul versi Partai Demokrat,
melainkan versi Golkar.
Kalau
usul Partai Demokrat itu yang menang, maka 1 April pastilah harga BBM naik.
Sebab lonjakan harga ICP sudah rata-rata di atas 10 persen. Tapi karena ikut
versi Golkar, maka kenaikan tak terjadi, sebab lonjakan harus dihitung
rata-rata 15 persen dalam 6 bulan, dan prosentase itu belum tercapai.
Tapi, dengan versi Golkar itu, Pemerintah menjadi leluasa untuk menaikkan atau
menurunkan harga BBM, jika dalam waktu 6 bulan ke depan ini lonjakan ICP telah
mencapai angka rata-rata 15 persen, tanpa memerlukan persetujuan DPR lagi.
Kalau kemauan Partai Demokrat yang menang, harga
BBM naik 1 April, atau suatu ketika naik jika telah sesuai dengan bunyi Pasal 7
ayat (6a), maka program kompensasi Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM,
sejenis BLT dulu) segera berjalan. Masyarakat miskin yang dapat
kompensasi itu jumlahnya 18,5 juta kepala keluarga. Besarnya bantuan telah
dianggarkan dalam APBN yakni sebesar Rp 150 ribu untuk setiap kepala keluarga
setiap bulan selama 6 bulan. Kalau satu keluarga rata-rata terdiri atas 4
orang, maka jumlah rakyat yang menikmati BLSM ini berjumlah 74 juta orang.
Angka ini potensial untuk mendukung Partai Demokrat dalam Pemilu mendatang,
termasuk mendukung pasangan Capres-Cawapres yang mereka usung. Iklan-iklan
nanti akan bermunculan di televisi, berisi ucapan terima kasih rakyat
kecil kepada Pak SBY dan Partai Demokrat yang telah bermurah hati memberikan
bantuan BLSM. Orang kecil akan mengira, dan akhirnya bukan mustahil akan
percaya, bantuan ini memang benar-benar datang dari Pak SBY dan Partai Demokrat
sebagai partai berkuasa. Padahal asal uang itu, uang rakyat juga, yang
dianggarkan melalui APBN. Menjelang
Pemilu 2014, dengan melihat trend yang terjadi setahun belakangan ini, ada
kemungkinan harga minyak dunia akan turun. Bukan mustahil pula, Pak SBY akan
muncul di televisi mengumumkan harga BBM turun. Rakyatpun senang. Simpati
kian bertambah, citra akan naik, dan berkahpun akan datang. Opini rakyat
kecil dengan mudah dapat dipermainkan dan dibentuk melalui iklan-iklan. Semua
ini akan membawa berkah yang luar biasa bagi Partai Demokrat untuk meraup suara
dalam Pemilu 2014, sama halnya dengan Pemilu 2009, melalui cara yang hampir
sama. Maklumlah orang kecil dan miskin, opininya mudah dibentuk untuk kemudian
digiring ke satu arah sesuai kemauan orang yang punya hajat, melalui
iklan-iklan di televisi dan radio-radio, yang selalu ditonton dan didengar rakyat
kecil di seantero negeri.
Analisis
saya di atas, mungkin saja didasari su'udzdzan. Namun apa yang saya tulis
didasarkan pada pengalaman naik-turunnya harga BBM dalam kurun waktu 2004-2009
dan munculnya iklan-iklan di televisi dan radio berisi ucapan terima kasih
rakyat kecil kepada Pak SBY. Banyak di antara kita yang sudah lupa dengan
kejadian itu. Bisa saja terulang, tapi bisa juga tidak, tentunya. Namanya
saja analisis sosial dan politik, tidaklah bersifat matematis tentunya.
B. Diamandemennya
Undang-Undang No. 22 Tahun 2011 tentang APBN tahun 2012
Sebagaimana diketahui hasil rapat
Paripurna DPR pada 30 Maret 2012 telah mengamandemen Undang-Undang No 22 Tahun
2012 tentang APBN Tahun Anggaran 2012 menjadi Undang-Undang APBN-P. Amandemen
tersebut terkait dengan naik atau tidaknya harga bahan bakar minyak (BBM)
seperti yang diamanatkan Undang-Undang APBN yang ditetapkan pemerintah pada November 2011 lalu.
Setelah melalui
proses politik di DPR, muncullah dua opsi sebagai jalan untuk mengakhiri rapat
paripurna itu. Opsi pertama, Pasal 7 ayat 6 tetap dan tidak ada penambahan,
sementara opsi kedua, pasal 7 ayat 6 ditambah dengan ayat 6a. Dari putusan yang
diambil melalui pemungutan suara (voting) itu, opsi kedua yang dipilih anggota
DPR koalisi (Partai Demokrat, Partai Golkar, Partai Kebangkitan Bangsa dan
Partai Persatuan Pembangunan) memperoleh 365 suara, sementara sisanya
memperoleh 82 suara (Partai Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera). Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Hati Nurani Rakyat walk out dalam
pelaksanaan voting itu.
Untuk itu,
dengan kemenangan dalam memutuskan opsi tersebut, maka dengan sendirinya Undang-Undang
APBN akan berubah menjadi Undang-Undang APBN-P dengan mencantumkan ayat
tambahan di pasal 7, yakni ayat 6a. Namun demikian proses politik itu tak serta
merta berjalan mulus sebab hasil paripurna dengan amandemennya itu ditengarai
berbagai kalangan menimbulkan ketidakpastian hukum. Malah banyak yang
berpendapat bahwa hasil amandemen Undang-Undang APBN menjadi Undang-Undang APBN-P
khususnya di pasal 7 ayat 6 dan ayat 6a bertentangan satu sama lain. Karenanya bukan tidak
mungkin sebagian masyarakat akan melakukan yudisial review ke Mahkamah
Konstitusi (MK) terkait dengan eksistensi pasal 7 ayat 6 dan ayat 6a Undang-Undang
APBN-P Tahun Anggaran 2012 ini. Sebab kemungkinan pasca diamandemennya pasal 7
tersebut akan berdampak pada situasi politik maupun ekonomi masyarakat akibat
adanya ketidakpastian soal kenaikan harga BBM tersebut.
a. Implikasi Hukum Amandemen UU APBN
Jika mencermati
hasil amandemen Undang-Undang APBN-P tahun Anggaran 2012, maka bisa diketahui
bahwa pasal 7 Undang-Undang itu mendapatkan tambahan ayat di ayat 6, khususnya
ayat 6a. Ayat 6 a hasil keputusan rapat paripurna DPR itu berbunyi; “dalam
hal harga rata-rata minyak Indonesia dalam kurun waktu berjalan mengalami
kenaikan atau penurunan rata-rata sebesar 15% dalam enam bulan terakhir dari
harga minyak internasional yang diasumsikan dalam APBN Perubahan Tahun Anggaran
2012, maka pemerintah berwenang untuk melakukan penyesuaian harga BBM”. Sedangkan pada ayat 6
itu tidak mengalami perubahan dan tetap sesuai dengan Undang-Undang APBN
sebelumnya yang berbunyi; “harga jual eceran BBM bersubsidi tidak
mengalami kenaikan”
Untuk
menjelaskan materi Undang-Undang APBN-P hasil amandemen pada ayat 6a itu,
pemerintah melalui Menteri Keuangan menyatakan bahwa harga BBM bersubsidi bisa
dinaikkan sewaktu-waktu sebab pasal 7 ayat 6a itu membuka ruang kenaikan bila
rata-rata Indonesia Crude Price (ICP) selama enam bulan yang dihitung mundur
naik di atas 15 % dari asumsi sebesar US$ 105 per barel. Dengan kata lain,
harga BBM akan dinaikkan bila rata-rata ICP di atas US$ 120,75 per barel.
Pasal 7 ayat 6a
itu juga menurut pemerintah selalu menghitung enam bulan terakhir, seperti April,
maka mulai dihitung dari Oktober, November, Desember, Januari, Februari dan
Maret. Pada bulan Maret 2012 kenyataan yang ada harga ICP itu US$128 per barel,
sementara harga rata-rata ICP dalam enam bulan terakhir sudah US$116 per barel
atau 11% di atas asumsi APBN-P 2012 yang ditetapkan US$105 per barel. Karena
belum mencapai 15 % di atas asumsi APBN-P, harga BBM belum bisa dinaikkan pada
April. Menilik isi dan substansi pasal 7 pasca amandemen itu dikaitkan dengan
penjelasan pemerintah, maka dalam satu pasal di Undang-Undang APBN-P itu
terdapat dua pengertian yang memiliki tafsir yang berbeda. Di satu sisi dalam
materi ayat 6, ditegaskan bahwa dengan sendirinya pemerintah tidak menaikkan
harga BBM bersubsidi kendati situasi lonjakan harga minyak dunia mengalami
fluktuasi sehingga berdampak pada postur APBN yang mendapat tekanan dari ekses
tersebut.
Sementara di
pihak lain, melalui ayat 6a, pemerintah memiliki kewenangan untuk menaikkan dan
atau menurunkan harga BBM akibat adanya acuan harga minyak internasional yang
mengalami kenaikan dan penurunan rata-rata 15%. Artinya dalam ayat 6a ini,
mensyaratkan sekaligus kepada pemerintah untuk sewaktu-waktu dapat menaikkan
harga BBM kendati dalam ayat 6 pasal 7 Undang-Undang ini secara tegas
pemerintah tidak bisa menaikkan dalam situasi apapun yang terjadi. Antara ayat 6 dan ayat
6a dalam pasal 7 Undang-Undang APBN-P itu menunjukkan bahwa dalam satu pasal
telah terjadi pertentangan satu sama lain, yang menurut aturan dan
pembentukkan Undang-Undang itu tidak lazim untuk dilakukan. Mengingat
dalam pembentukan suatu Undang-Undang diniscayakan adanya satu kesatuan yang
utuh dan bulat dari keseluruhan isi Undang-Undang itu yang mudah untuk dipahami
masyarakat tatkala implementasi Undang-Undang itu dilakukan pemerintah. Karenanya
dimungkinkan bahwa isi pasal tersebut telah menimbulkan ketidakpastian hukum
dalam konteks implementasinya di lapangan. Artinya bagaimana mungkin suatu Undang-Undang
pada akhirnya bisa diberlakukan menurut situasi obyektif yang disyaratkan
dengan mengabaikan materi yang terdapat dalam ayat lainnya di pasal tersebut.
Ahli Hukum Tata
Negara (HTN) Yusril Ihza Mahendra pun mengingatkan, bahwa Pasal 7 Ayat 6a dalam
Undang-Undang itu bertentangan dengan Pasal 28 D dan Pasal 33 UUD 1945 . Yusril
dalam hal ini merujuk pada penafsiran Mahkamah Konstitusi tahun 2003 ketika
pengujian Pasal 28 Undang- undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas
Bumi. Di mana ketika itu Mahkamah
Konstitusi membatalkan pasal 28 UU No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas
Bumi. Dalam amar putusannya Mahkamah Konstitusi menyatakan, pasal 28 ayat 2 dan
ayat 3 UU no 22 tahun 2011 bertentangan dengan UUD 1945.
Pasal 28 ayat 2
berbunyi; “harga bahan bakar minyak dan gas bumi diserahkan pada mekanisme
persaingan usaha yang sehat dan wajar, sementara ayat 3; pelaksanaan
kebijaksanaan harga sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 tidak mengurangi
tanggungjawab sosial pemerintah terhadap golongan masyarakat tertentu.”
Karena itulah Mahkamah
Konstitusi melakukan pencabutan atas pasal 28 ayat 2 tersebut yang mengatur
kenaikan harga BBM berdasarkan persaingan usaha yang sehat dan wajar.
(kutipan ayat 2; “harga
bahan bakar minyak dan harga gas bumi diserahkan pada mekanisme persaingan”).
Menurut keputusan Mahkamah
Konstitusi, campur tangan pemerintah dalam kebijakan penentuan harga haruslah
menjadi kewenangan yang diutamakan untuk cabang produksi yang penting dan atau
menguasai hajat hidup orang banyak. Mahkamah Konstitusi juga mendalilkan bahwa
pemerintah dapat mempertimbangkan banyak hal dalam menetapkan kebijakan harga
BBM, termasuk harga yang ditawarkan oleh mekanisme pasar. Bisa dikatakan, pasal
28 ayat 2 dan 3 di mata Mahkamah Konstitusi lebih mengutamakan mekanisme
persaingan, baru kemudian campur tangan pemerintah sebatas menyangkut golongan
masyarakat tertentu. Aturan inilah dipandang Mahkamah Konstitusi tidak menjamin
makna prinsip demokrasi ekonomi sebagaimana diatur dalam pasal 33 ayat 4 UUD
1945, yang berbunyi “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat”. Karenanya tak heran jika ahli Hukum Tata Negara, Yusril Ihza
Mahendra menyatakan, substansi Ayat 6a itu sama dengan Undang-Undang Migas
sebelum dibatalkan Mahkamah Konstitusi. Menurutnya, harga minyak dan gas di
dalam negeri diserahkan kepada harga pasar sehingga dapat bersifat fluktuatif.
Dalam konteks ini amat mungkin pada akhirnya terbuka peluang bagi masyarakat
untuk melakukan yudisial review terhadap pasal 7 ayat 6a dalam Undang-Undang
APBN-P Tahun Anggaran 2012 tersebut.
Andai yudisial
review dilakukan masyarakat, maka hal yang mencolok untuk dimohonkan kepada
majelis hakim Mahkamah Konstitusi adalah menyangkut eksistensi ayat 6 dan
ayat 6a dalam pasal 7 Undang-Undang APBN-P itu. Secara terang pasal tersebut
satu sama lain saling beroposisi dalam hal penafsiran mengenai kapan kenaikan
harga BBM itu dilaksanakan dan berapa rupiah besaran kenaikan yang akan
diputuskan.
Kendati jika
dilihat dalam bulan April ini, pemerintah masih secara eksplisit menggunakan
pasal 7 ayat 6 dengan mempertimbangkan apa yang disyaratkan dalam pasal 7 ayat 6a
itu. Saat ini pemerintah masih mengacu pada landasan hukum ayat 6 untuk tidak
menaikkan harga BBM. Namun demikian pemerintah pun bisa sewaktu-waktu mengacu
pada pasal 7 ayat 6a untuk menaikkan harga BBM sepanjang hal itu dipengaruhi
oleh faktor-faktor di luar kemampuan pemerintah, seperti halnya situasi
lonjakan minyak dunia akibat krisis Timur Tengah dan sebagainya. Setidaknya bisa
dikatakan bahwa, kemungkinan jika pasal 7 ayat 6a dibatalkan Mahkamah Konstitusi,
maka pemerintah dengan sendirinya diminta untuk merevisi bunyi ayat tersebut
berdasarkan pertimbangan hukum yang diamanatkan oleh majelis hakim Mahkamah Konstitusi.
Tentu saja, hal ini akan berimplikasi kepada implementasi kebijakan pemerintah
yang secara mutlak tidak bisa lagi mengeluarkan kebijakan untuk menaikkan harga
BBM untuk masa selanjutnya di tahun 2012. Namun jika Mahkamah Konstitusi memutuskan
sebaliknya, tidak ada jalan lain bagi pemerintah untuk serta merta mengikuti
apa yang termaktub dalam bunyi ayat 6a tersebut. Dalam konteks ini, pemerintah
memiliki kewenangan mutlak pula untuk mengeluarkan kebijakan mengenai kenaikan
harga BBM sepanjang disyaratkan oleh Undang-Undang APBN-P secara keseluruhan
itu.
Di luar itu,
selama belum ditandatanganinya Undang-Undang APBN-P oleh presiden, naskah Undang-Undang
belum secara resmi bisa diuji materikan terkait persoalan apa dari pasal
tersebut yang dimohonkan oleh masyarakat. Namun Mahkamah Konstitusi tampaknya
membuka peluang bagi masyarakat untuk mendaftarkan uji materi Undang-Undang
APBN-P seraya menunggu ditandatanganinya Undang-Undang itu. Ketua Mahkamah Konstitusi,
Mahfud MD menjelaskan, keabsahan pasal 7 ayat 6a Undang-Undang APBN-P 2012
tergantung pihak yang melaporkan ke Mahkamah Konstitusi. Menurut Mahfud,
laporan uji materi baru bisa dilaksanakan setelah Undang-Undang ditandatangani
presiden yang biasanya diteken setelah tiga bulan. Tiga bulan itu kemudian
yudisial review baru bisa diajukan sekaligus memastikan persoalan apa yang
dimohonkan oleh pemohon terkait dengan kebijakan kenaikan BBM tersebut.
b. Implikasi Sosial dan Politik
Secara tidak
langsung, diamandemennya UU No 22 Tahun 2011 tentang APBN Tahun Anggaran 2012
menjadi Undang-Undang APBN-P kemungkinan menimbulkan ketidakpastian di
masyarakat menyangkut naik atau tidaknya harga BBM. Kendati sejauh ini
pemerintah telah memastikan bahwa rencana kenaikan BBM bersubsidi pada 1 April
itu tidak jadi untuk diputuskan naik berdasarkan pasal 7 ayat 6 a tersebut
karena tidak memenuhi syarat 15 persen, sekaligus mempertimbangkan bunyi ayat 6
itu sendiri.
Namun demikian, selama
kurun waktu tahun anggaran 2012, pemerintah juga memiliki landasan hukum untuk
menaikkan harga BBM berdasarkan pasal 7 ayat 6a itu dengan mengabaikan bunyi
ayat 6. Pada titik ini pemerintah memiliki keuntungan yuridis untuk memastikan
kenaikan harga BBM selama tahun anggaran 2012.
Lepas dari hal
itu, secara politis, sesungguhnya pemerintah menghadapi dilema ketika kebijakan
kenaikan harga BBM akan digulirkan. Di satu pihak, tekanan politik oleh
kelompok dari berbagai elemen masyarakat pada pemerintah akan semakin menguat
seiring dengan rencana tersebut, di pihak lain pemerintah dihadapi kenyataan
adanya tekanan defisit APBN andai tidak ada kebijakan kenaikan BBM. Dengan kata
lain, saat ini posisi politik pemerintah berhadapan langsung dengan masyarakat,
buah dari proses politik DPR. Situasi semacam ini kemungkinan akan berimplikasi pada gejolak
sosial di masyarakat mengingat tidak adanya kepastian menyangkut naik atau
tidaknya BBM di tahun anggaran 2012 ini. Apalagi selama munculnya isu kenaikan
harga BBM, diikuti pula oleh kenaikan harga sembako di beberapa daerah walau
tidak signifikan angka kenaikannya. Karena itu, setidaknya ada beberapa hal yang
muncul pasca amandemen Undang-Undang APBN 2012 terkait dengan rencana naik atau
tidaknya harga BBM.
1.
Pemerintah kemungkinan akan kembali mendorong pelaksanaan
pembatasan BBM melalui program konversi BBM ke BBG.
2.
Elemen kelompok masyarakat diduga kuat akan mengajukan uji
materi ke MK terkait pasal 7 ayat 6a Undang-Undang APBN-P
3.
Kenaikan harga BBM tanpa persetujuan DPR kemungkinan amat rentan
munculnya gejolak di masyarakat walaupun pemerintah memiliki kewenangan
berdasarkan pasal 7 ayat 6a itu.[7]
5.
Kontroversial
Pasal 7 Ayat 6A di Rapat Paripurna DPR
Rapat
Paripurna DPR RI, Sabtu dini hari, sepakat menunda rencana kenaikan harga bahan
bakar minyak (BBM) pada 1 April 2012. Namun, keputusan itu terbilang rancu
karena isi Pasal 7 Ayat 6a Undang-Undang APBN-P 2012 bertentangan dengan ayat
sebelumnya (Pasal 7 Ayat 6).
Sidang
paripurna menyetujui adanya penambahan
Ayat 6a yang menyatakan bahwa pemerintah bisa menyesuaikan harga BBM jika
harga rata-rata minyak mentah di Indonesia (ICP) naik atau turun hingga lebih
dari 15 persen dalam waktu enam bulan. Keputusan tersebut bertentang dengan Pasal 7 Ayat 6 yang isinya
menyebutkan bahwa harga jual eceran BBM bersubsidi tidak mengalami
kenaikan.
Wakil Ketua Fraksi Gerindra, Ahmad Muzani, mengatakan
penambahan ayat ini berpotensi untuk digugat di Mahkamah Konstitusi (MK).
''Karena, penambahan ayat ini bertentangan dengan Pasal 7 Ayat 6 Undang-Undang
APBN-P 2012 yang mengikat pemerintah untuk tidak menaikan harga BBM
bersubsidi,'' kata Ahmad. Keberadaan Pasal 7 Ayat 6a ini pun dianggap
memungkinkan pemerintah untuk menyesuaikan harga BBM bersubsidi berdasarkan
harga pasar. Padahal, substansi ini sudah ditolak oleh Mahkamah Konstitusi
ketika uji materi pasal 28 ayat UU 22/2001 tentang migas yang mengatakan harga
BBM berdasarkan harga pasar yang wajar.
Pakar Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra akan mengajukan uji materi terhadap pasal 7 ayat 6A Undang-Undang APBN-P yang baru saja disahkan DPR. ''Saya sudah telaah bahwa pasal 7 ayat 6A menabrak pasal 33 UUD 1945 seperti ditafsirkan Mahkamah Konstitusi. Saya sedang siapkan draf uji formil dan materil ke Mahkamah Konstitusi. Tapi Senin belum bisa didaftarkan ke Mahkamah Konstitusi karena, harus menunggu perubahan Undang-Undang APBN-P tersebut disahkan dan diundangkan lebih dulu oleh presiden,'' katanya. Pengujian yang dilakukan, ujar dia, tak hanya materil karena bertentangan dengan pasal 33 dan pasal 28D ayat 1 UUD 1945. Tapi juga formil karena menabrak syarat-syarat formil pembentukan undang-undang sebagmana diatur dalam UU Nomor 12/2011.
Opsi
penambahan pasal yang digulirkan Ketua
DPR Marzuki Ali dalam rapat paripurna BBM dinilai telah menggiring
pada pelanggaran terhadap UUD 1945. "Pasal 7 ayat 6 sudah menjadi
undang-undang. Artinya tidak boleh divoting lagi," kata anggota fraksi
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Rieke Diah Pitaloka. Ia
mengatakan, pemaksaan terhadap adanya opsi penambahan pasal 7 ayat 6A sama
artinya DPR telah melanggar Undang-Undang. Dalam pasal tambahan tersebut
disebutkan, apabila harga rata-rata minyak mentah Indonesia (ICP) mencapai 15
persen, maka pemerintah boleh menaikkan harga BBM enam bulan ke depan.
"BBM akan menyesuaikan harga pasar dunia," ujarnya. Anggota Komisi IX
DPR RI itu menambahkan, berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap
pasal 28 UU Migas, harga BBM tidak diperbolehkan diserahkan pada mekanisme
pasar. "Itu artinya, opsi tersebut juga telah melanggar konsitusi UUD
1945," kata dia.[8]
Menteri Kordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa menegaskan
masuknya pasal 7 ayat 6a Undang-undang APBN-Perubahan 2012 tidak bertentangan
dengan putusan Mahkamah Konstitusi. Untuk diketahui, berdasarkan keputusan Mahkamah
Konstitusi terhadap pasal 28 Undang-Undang Migas, harga BBM tidak boleh diserahkan
pada mekanisme pasar (dunia). Dipastikan, putusan Rapat Paripurna yang
menambahkan pasal 7 ayat 6a tidak bertentangan dengan putusan MK tersebut.
"Justru di dalamnya sesuai keputusan Mahkamah Konstitusi," tegasnya
membantah anggapan banyak pihak pasal tersebut yang menyebutkan “Dalam hal
harga rata-rata minyak mentah Indonesia (ICP) mencapai 15% pemerintah boleh
menaikkan harga BBM enam bulan ke depan" tidak sesuai dan melawan putusan
Mahkamah Konsttusi.
Menurut
Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN), Mahkamah Konstitusi menganulir dan
menjelaskan pemerintah menetapkan harga eceran dengan mempehitungkan kelompok
masyarakat tertentu. Karenanya, tidak boleh jika tidak ada subsidinya.
"Esensi dari Mahkamah Konstitusi itu. Ini kan subsidi masih besar, Rp137
triliun. Besar sekali. Itu tidak mengikuti mekansime pasar," katanya.
Hatta Rajasa juga menegaskan menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi
hanya boleh diambil pemerintah kala harga rata-rata minyak Indonesia
(ICP/Indonesian Crude Price) selama 6 bulan berada di atas 15 persen dari
asumsi APBN. Itu berarti kenaikan harga BBM baru dapat dilakukan pemerintah
jika ICP sudah menunjukan angka di atas 120,75 dolar AS per barel selama kurun
6 bulan terakhir. Karena asumsi APBN-Perubahan menyebutkan asumsi ICP pada
angka 105 dolar AS per barel. Karenanya, tegas Hatta. Pemerintah tidak bisa
memperkirakan bulan berapa kenaikan harga BBM akan dilakukan pemerintah.
"Kita tidak tahu. Kalau harganya tidak mencapai diatas 120,75 dolar AS per
barel dalam 6 bulan terakhir, ya tidak bisa dinaikan," ia menguraikan. Lebih
lanjut Hatta menyatakan dengan putusan paripurna memberi ruang bagi pemerintah
menaikkan harga BBM pada pasal 7 ayat 6a, tidak berdampak berubahnya postur
APBN-P 2012. Untuk itu pemerintah akan melaksanakan hasil itu dengan menjaga
risiko fiskal agar tidak berakibat pada jebolnya APBN. "Makanya kita
mengusulkan BBM naik Rp1.500. Tapi sebagian melihatnya tidak begitu, makanya
kita syukuri sajalah hasil yang sekarang ini. Tidak usah dipolemikan lagi, tidak
usah diperdebatkan lagi, nanti habis energi kita memperdebatkan. Pemerintah
akan memanage apapun yang sudah menjadi keputusan," ujarnya.
Pasal
7 ayat 6 dan pasal 7 ayat 6A tidak bisa disatukan karena memiliki fungsi yang
bertolak belakang, kenapa? Karena;
·
Bait
pertama, harga jual eceran BBM bersubsidi tidak mengalami kenaikan.
·
Bait
ke-dua, pemerintah bisa menyesuaikan harga BBM jika harga
rata-rata minyak mentah di Indonesia (ICP) naik atau turun hingga lebih dari 15
persen dalam waktu enam bulan.
Jika
di suatu kelak pemerintah menaikkan harga BBM, maka memungkinkan dapat digugat
secara hukum dengan pasal sebelumnya. Atau begitu pula sebaliknya, jika tidak
mengalami kenaikan dapat digugat dengan pasal tambahannya. Salah satu pasal
harus dihapus agar tidak menjadi kerancuan di dalam menentukan suatu kebijakan
tentang BBM (Bahan Bakar Minyak) di masa yang akan datang. Ini seperti Matahari
Kembar, artinya negara dikuasai oleh dua kekuatan yang sama besar dan
sangat membahayakan keamanan dan fungsi keperintahan itu sendiri.
Di dalam agenda Rapat Paripurna di
DPR pun mengalami suatu adegan yang seperti sengaja di set untuk direkayasa.
Karena sebelumnya perwakilan dari fraksi-fraksi yang secara gamblang namun
tidak tegas, seraya mengatakan "Menolak Kenaikan BBM" namun secara
mengejutkan setelah pengambilan voting menjadi tidak konsisten dalam
memperjuangkan aspirasi dari masyarakat. Beberapa keanehan di dalam agenda
tersebut diantaranya:
1. Masa demonstrasi mulai anarkis
dengan merusak pagar dan gerbang komplek gedung DPR, saat itu Marzuki Ali
ditelepon oleh seseorang dan seketika itu pula sidang langsung di skors tanpa
ada kejelasan sampai kapan akan dimulai kembali. Mungkin ini adalah suatu
perintah, agar sidang dan drama dimulai.
2. Proses lobi dan kompromi dijalankan
sangat lama yakni, sedari pukul 16:00 hingga pukul 22:00, itu artinya sudah ada
mekanisme yang sangat panjang dan terencana serta akan menimbulkan drama yang
sangat memukau dan segala perubahan dapat terjadi secara tiba-tiba.
3. Polisi tetap membiarkan masa
demonstran, meskipun telah melewati pukul 18:00 yang seharusnya mereka harus
membubarkan diri. Ini taktik dan strategi agar dinilai bagus oleh pembaca
berita.
4. Namun pada pukul 19:00 masa
demonstran mulai tidak sabar dengan menunggu sampai kapan voting dan hasil dari
rapat paripurna di DPR. Sehingga di dalam suasana gelap mereka membakar ban dan
mulai kembali berorasi, sehingga dengan persiapan mobil water canon dari
kepolisian langsung menembaki masa demonstran secara sporadis dan bertubi-tubi
tanpa ada jeda sehingga masaa langsung melarikan diri tanpa melakukan
perlawanan berarti kepada aparat keamanan.
5. Pukul 21:30 komplek gedung DPR telah
dikuasai oleh aparat keamanan dan telah bersih dari masa demonstran.
6. Pukul 22:00 masa sidang di DPR
kembali dimulai dan mulai drama sesion ke2. Hujan interupsi dari peserta Rapat
paripurna mulai mengarah ke berbagai substansial mengenai keputusan "Naik
atau tidaknya harga BBM dan disiarkan di TV One, Metro TV."
7. Satu hal yang menarik adalah peserta
rapat dipaksa memilih opsi paket;
·
Paket
1; Memilih pasal 7 ayat 6
·
Paket
2; Memilih pasal 7 ayat 6 dan memilih pasal 7 ayat 6A
Saat
melakukan voting itulah Golkar
yang semula berkata, "Suara rakyat adalah suara rakyat" kini memilih
opsi paket 2, yakni memberikan kesempatan jika harga BBM harus naik. Sementara
PKB, PAN, PPP, juga melakukan hal yang sama. Hal yang anehpun terjadi saat
dilaksanakannya voting pengambilan suara, dimana PDI dan Hanura melakukan Walk
Out atau keluar sidang sehingga pihak/suara penolak kenaikan harga BBM telah
mengalami penurunan. Hal yang sangat dikagumi adalah dari PKS dan Gerindra
dengan lantang tetap menolak paket 2 tersebut. Meskipun PKS berasal dari
koalisi Demokrat.
Marzuki
Ali di jalan persidanganpun menuai protes karena telah menyepelekan nama PKS
"partai keadilan sosial" dan tidak menganggap keberadaan Hanura yang
adalah "sisanya". Sehingga pihak-pihak yang merasa tersinggung
meminta Marzuki Alie segera meminta maaf. Sekali lagi, ini adalah keanehan
yang dibuat-buat, dan pemerintah harus jujur untuk mengakui keadaan yang
sebenarnya serta menjalaskan sedetail-detailnya agar presepsi publik tidak
mengarah ke hal-hal yang negatif. Karena jika tidak, mungkin pesta demokrasi
pemilihan umum tahun 2014 yang akan datang masyarakat akan golput, disebabkan
karena calon politikus selalu berhianat atas janji-janji mereka sendiri.,[9]
6.
A. Gugatan Pengesahan Undang-Undang
APBN-Perubahan 2012
ayat
6A ke Mahkamah Konstitusi
Hiruk-pikuk
sidang paripurna Jumat (30/3) hingga Sabtu (31/3) dini hari lalu telah usai.
Namun, putusan DPR itu justru masuk ranah kontroversi. Sidang paripurna DPR akhirnya
memutuskan penambahan ayat 6 (a) di pasal 7 UU APBN Perubahan 2012. Dalam ayat
itu, pemerintah diberi kewenangan menyesuaikan harga BBM jika harga minyak
mentah Indonesia (Indonesia Crude Price) di atas 15% dalam kurun enam bulan.
Mantan Menteri Hukum dan HAM Yusril Ihza Mahendra
merespon pengesahan UU APBN Perubahan 2012 berencana menggugat ayat 6a ke
Mahkamah Konstitusi (MK). Dia mengemukakan akan menggugat secara formil maupun
materil. "Karena pengesahan RUU APBN-P 2012 di DPR menabrak syarat-syarat
formil pembentukkan UU, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011,"
kata Yusril. Lebih dari itu, Yusril
menuturkan terjadi kontradiksi antara pasal 7 ayat (6) dengan ayat (6a).
Menurut dia, suatu norma hukum tidak bisa saling bertentangan. "Suatu
norma tidak bisa bertentangan, tidak mengandung kejelasan dan bersifat
multitafsir," jelas Yusril. Menurut
dia, pertentangan antara ayat (6) dengan ayat (6a) telah berlangsung dalam
sidang paripurna DPR antar-anggota DPR. "Ada tabrakan ayat (6) dengan ayat
(6a)," ujar Yusril. Dia juga
optimitis gugatan uji materil dan formil UU APBN Perubahan 2012 akan dikabulkan
MK. Menurutnya, jika tidak yakin dikabulkan, maka ia tak mungkin mengajukan
gugatan. "Kalau tidak yakin, tidak mungkin saya mengajukan gugatan ke
MK," seloroh Yusril.
Sementara terpisah Sekjen DPP PPP Muhammad
Romahurmuziy mengatakan penambahan ayat (6a) di UU APBN Perubahan dimaksudkan
agar pemerintah tidak bersikap sewenang-wenang menggunakan haknya.
"Penggunaan ICP (harga rata-rata minyak mentah Indonesia) pada batang
tubuh pasal, tidak berarti mengaitkan harga BBM kepada mekanisme pasar,"
kata Romi. Menurut dia, ICP bukanlah publish/market rate yang menjadi patokan
pasar. ICP hanya dikenal dalam instrumen UU APBN dan APBN-P saja, yang
ditetapkan dalam sebuah Permen ESDM. Terkait
gugatan formil terhadap UU APBN Perubahan ini, Romi menegaskan pengesahan RUU
APBNP 2012 pada 31 Maret 2012 masih sesuai dengan pasal 161 ayat (4) dalam UU
MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang mengatur waktu satu bulan dalam pembahasan dan
penetapan APBN. "Mengacu hal
tersebut pembahasan RUU APBN-P 2012 dimulai pada 6 Maret 2012. dengan demikian
pada 31 Maret 2012 masih dalam rentang waktu yang dibolehkan UU," kata
Romi. Oleh karenanya, pihaknya meyakini UU APBNP 2012 yang disahkan pada 31
Maret 2012 lalu sah baik formil maupun materil.[10]
B. Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra akan uji UU APBN
Perubahan ke MK
Pakar hukum tata negara Yusril Ihza
Mahendra mengaku akan menguji formil dan materil Undang Undang APBN Perubahan
(UU APBN Perubahan) yang baru disahkan 31 Maret dini hari menyangkut
kewenangan pemerintah mengontrol harga bahan bakar minyak (BBM) ke Mahkamah
Konstitusi (MK).
Menurutnya, Pasal 7 ayat 6a UU APBN
Perubahan telah memberi kewenangan kepada pemerintah untuk mengontrol
harga BBM bersubsidi dalam kurun waktu enam bulan tidak mengandung kepastian
hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. “Pasal
menabrak Pasal 33 UUD 1945 seperti ditafsirkan Mahkamah Konstitusi,”
katanya.
Dalam catatan, pada 2003,
katanya, Mahkamah Konstitusi pernah membatalkan salah satu pasal Undang Undang
Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi isinya menyerahkan harga jual
BBM kepada mekanisme pasar, sehingga harganya naik-turun mengikuti fluktuasi
harga minyak dunia. Mahkamah Konstitusi menganggap pasal itu bertentangan
dengan Pasal 33 UUD 1945, mengingat minyak dan gas adalah kekayaan alam yang
menyangkut hajat hidup orang banyak dan harus dikuasai negara.
Kata Yusril, selain menabrak UUD
1945, Pasal 7 ayat 6 dan 6a setelah perubahan, tidaklah memenuhi syarat-syarat
formil pembentukan undang-undang sebagaimana diatur dalam Undang Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan. Prosedur
perubahan UU APBN tersebut, menurut Yusril, juga melanggar ketentuan, sehingga
secara formil maupun materil dapat dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi[11]
C.
Pemerintah Persilakan Pasal 7 Ayat 6a Digugat
Pemerintah
mempersilakan pasal 7 ayat 6a dalam Undang-Undang APBN-P 2012 digugat ke
Mahkamah Konstitusi (MK). "Kami
tidak bisa melarang orang untuk mengajukan uji materi," terang Menteri
Hukum dan HAM, Amir Syamsuddin. Menurutnya,
setiap warga negara memiliki hak untuk mengajukan uji materi sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. "Ini tergantung kepada orang yang
merasa pasal itu bertentangan," ujarnya.
Sebagai
informasi, munculnya pasal 7 ayat 6a yang memberi ruang pemerintah untuk
menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) mengundang kontroversi. Bahkan,
sejumlah pihak menyebut pasal itu inkonstitusional.
Partai
Hanura telah menyatakan akan mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.
Hanura menyesalkan forum paripurna yang tidak mendengar aspirasi dari parpol
Hanura, PDIP dan Gerindra. Saat voting
soal pasal 7 ayat 6a, Hanura melakukan aksi walk out. Bagi Hanura, sidang
paripurna itu merupakan pembodohan masyarakat. Karena fraksi-fraksi yang
awalnya mengaku menolak ujung-ujungnya setuju untuk kenaikan harga BBM. Fraksi PDIP, yang juga melakukan walk out, akan
mempertimbangkan untuk mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi.
Kelompok masyarakat lainnya yang sudah siap melakukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi
adalah Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI). Organisasi buruh ini
memiliki 483 ribu anggota di seluruh Indonesia.[12]
7.
UU APBN-P 2012 bukti Kebobrokan Regim dan Sistem
Pro dan Kontra Undang-Undang APBN-P 2012 Pasal 7 ayat 6a di
tubuh parlemen merupakan representasi dari carut marutnya kehidupan politik di
negeri ini yang lebih menonjolkan politik kekuasaan elite bukan politik pelayanan
urusan masyarakat/rakyat –riayatus syuunil ummah-. Ada dua kubu di tubuh
parlemen antara kelompok parpol yang sepakat dengan substansi Pasal 7 ayat 6a
diwakili oleh Parpol Penguasa seperti Demokrat, PPP, PAN, PKB dan Golkar yang
memainkan peran strategis dengan politik dua kakinya yang disinyalir melakukan
transaksi politik dengan Demokrat atas pasal 18 Undang-Undang APBN-P 2012
sebagai kompensasi tetap menggoalkan eksistensi Pasal 7 ayat 6a oleh Parpol
Penguasa, di lain pihak Kubu Parpol Oposisi yang menolak substansi Pasal 7 ayat
6a diwakili oleh PDI-P, Hanura, Gerindra dan PKS yang belakangan mengambil
sikap politik menjadi oposisinya Koalisi dan memainkan peran penting
menciptakan arus baru perlawanan sebagai bagian dari strategi investasi politik
menjelang Pilpres 2014.
Kubu oposisi melihat bahwa kebijakan
Pemerintah/Penguasa Pasal 7 ayat 6a UU APBN-P 2012 hanyalah menjadi legitimasi
yuridis formil kebijakan kenaikan BBM yang benar-benar tidak merepresentasikan
aspirasi rakyat. Sebaliknya Kubu Penguasa/Pemerintah dengan strategi status
quonya menilai bahwa substansi Pasal 7 ayat 6a sudah pas karena selain tidak
bertentangan dengan konstitusi tetapi juga atas dasar pertimbangan perlunya
Pemerintah diberikan otoritas/kewenangan untuk melakukan kebijakan yang tepat
tentang kenaikan BBM ini dengan standart kenaikan atau penurunan ICP (harga
bahan mentah) minyak internasional sebesar 15 % sebagai jalan untuk
menyelamatkan perekonomian negara, APBN, dan beberapa alasan lain yang banyak
rakyat hampir bisa dipastikan tidak memahaminya karena lebih banyak alasan
tekhnis kebijakan publik ketimbang logika sederhana pemenuhan hajat hidup
rakyat pada umumnya.
“Rakyat dipaksa untuk mengikuti dan harus tahu logika kebijakan politik Pemerintah/Penguasa yang diambil bukan sebaliknya Penguasa yang harusnya memahami dulu persoalan Rakyat secara mendasar dan menyeluruh lalu setelah itu dijadikan tolak ukur untuk merumuskan kebijakan politik yang tepat dan pro rakyat”. Bukti bahwa kebijakan politik Pemerintah/Penguasa tidak merepresentasikan aspirasi rakyat adalah bahwa meski ada hasil survey yang dilakukan LSI (Lingkaran Survey Indonesia) yang menyatakan bahwa mayoritas rakyat negeri ini sejumlah 86,6 persen menolak/tidak setuju dengan kebijakan kenaikan BBM, Pemerintah tidak melihat ini sebagai hal serius yang dijadikan pertimbangan utama untuk merumuskan kebijakan. Sementara di lain pihak sikap perlawanan yang dilakukan oleh Kelompok Partai Oposisi terhadap kebijakan Pemerintah ini masih menyisakan beberapa pertanyaan besar apakah sebagai bagian dari konsistensi potitioning sikap politik yang –waton berbeda- atau upaya menarik simpati rakyat sebagai investasi politik kekuasaan menuju kursi kekuasaan politik yang dicita-citakan atau sebagai sebuah strategi keniscayaan dalam peta konstelasi politik Demokrasi yang tidak jelas rumusannya alias –multi tafsir-. Pada intinya baik Partai Kubu Pemerintah maupun Partai Kubu Oposisi saat ini tengah memperlihatkan sebuah adegan fragmen atau sandiwara politik kekuasaan yang semakin membuat rakyat bingung, membuat rakyat prihatin, membuat rakyat gak peduli, membuat rakyat tidak klik nuraninya dan membuat rakyat semakin menderita batin di tengah penderitaan riil rakyat secara ekonomi, sosial, budaya dan politik. Belum pernah secara serius dilakukan kajian tentang implikasi kebijakan politik Pemerintah dalam beberapa persoalan termasuk Kebijakan Kenaikan BBM terhadap rakyat meski banyak data menunjukkan semakin meningkatnya angka kemiskinan seperti Data BPS tahun 2010 saja terdapat sejumlah 100 juta orang miskin termasuk juga angka kemiskinan di Jawa Timur sebagai salah satu barometer Indonesia sebagaimana yang disampaikan oleh Kabid Statistik sosial BPS Jawa Timur bahwa Per-September 2011 terdapat sejumlah 5.227.310 jiwa dengan income per-capita 225 ribu rupiah.
“Pemerintah yang harusnya melayani rakyat justeru secara sistemik di banyak kasus kebijakan politik yang dilahirkan dan diterapkan dipaksa oleh hegemoni sistem politik yang diterapkan di negeri ini semakin menyakiti rakyat, menzalimi rakyat, mengkhianati rakyat dan membohongi rakyat”. Ketidak seriusan untuk memperhatikan bagaimana keadaan rakyat sebagai titik tolak untuk merumuskan kebijakan politik pemerintah yang tepat, bijak dan benar semakin terlihat dari semakin gencarnya diperbincangkan akhir-akhir ini tentang standart presentase Parliamentary Treshold pada pembahasan RUU Pemilu. Para Elite Politik dan Elite Penguasa melalui Partai Politiknya sibuk untuk merumuskan kalkulasi angka dukungan massa ketimbang mengedepankan ketulusan dan kesungguhan untuk memperhatikan kalkulasi angka seberapa jauh persoalan rakyat bisa dipahami, diteliti dan kemudian dipecahkan. Ironis di sebuah negeri yang katanya orang dulu –gemah ripah loh jinawi tata tentrem karta raharjo- dihadapkan oleh problem kehidupan politik yang carut marut akibat penampilan para elit politik, elit penguasa, aktor politik dan partai politik dalam konstelasi percaturan politik yang sarat dengan banyak barter kepentingan politik, bargaining politik di tengah keadaan semakin melambungnya utang luar negeri sampai mencapai angka 1.800 triliun rupiah, kebijakan pembangunan yang tidak tepat sasaran, korupsi yang menggurita, pemborosan anggaran negara untuk belanja birokrasi, sumber daya alam yang banyak dieksploitasi asing, legislasi UU/aturan yang tidak pro-rakyat, korporasi negara, mafioso hukum-peradilan dan banyak persoalan lain yang semakin mendorong sebuah pertanyaan besar sudah tepatkah pilihan sistem politik yang disepakati diterapkan di negeri ini ?
“Rakyat dipaksa untuk mengikuti dan harus tahu logika kebijakan politik Pemerintah/Penguasa yang diambil bukan sebaliknya Penguasa yang harusnya memahami dulu persoalan Rakyat secara mendasar dan menyeluruh lalu setelah itu dijadikan tolak ukur untuk merumuskan kebijakan politik yang tepat dan pro rakyat”. Bukti bahwa kebijakan politik Pemerintah/Penguasa tidak merepresentasikan aspirasi rakyat adalah bahwa meski ada hasil survey yang dilakukan LSI (Lingkaran Survey Indonesia) yang menyatakan bahwa mayoritas rakyat negeri ini sejumlah 86,6 persen menolak/tidak setuju dengan kebijakan kenaikan BBM, Pemerintah tidak melihat ini sebagai hal serius yang dijadikan pertimbangan utama untuk merumuskan kebijakan. Sementara di lain pihak sikap perlawanan yang dilakukan oleh Kelompok Partai Oposisi terhadap kebijakan Pemerintah ini masih menyisakan beberapa pertanyaan besar apakah sebagai bagian dari konsistensi potitioning sikap politik yang –waton berbeda- atau upaya menarik simpati rakyat sebagai investasi politik kekuasaan menuju kursi kekuasaan politik yang dicita-citakan atau sebagai sebuah strategi keniscayaan dalam peta konstelasi politik Demokrasi yang tidak jelas rumusannya alias –multi tafsir-. Pada intinya baik Partai Kubu Pemerintah maupun Partai Kubu Oposisi saat ini tengah memperlihatkan sebuah adegan fragmen atau sandiwara politik kekuasaan yang semakin membuat rakyat bingung, membuat rakyat prihatin, membuat rakyat gak peduli, membuat rakyat tidak klik nuraninya dan membuat rakyat semakin menderita batin di tengah penderitaan riil rakyat secara ekonomi, sosial, budaya dan politik. Belum pernah secara serius dilakukan kajian tentang implikasi kebijakan politik Pemerintah dalam beberapa persoalan termasuk Kebijakan Kenaikan BBM terhadap rakyat meski banyak data menunjukkan semakin meningkatnya angka kemiskinan seperti Data BPS tahun 2010 saja terdapat sejumlah 100 juta orang miskin termasuk juga angka kemiskinan di Jawa Timur sebagai salah satu barometer Indonesia sebagaimana yang disampaikan oleh Kabid Statistik sosial BPS Jawa Timur bahwa Per-September 2011 terdapat sejumlah 5.227.310 jiwa dengan income per-capita 225 ribu rupiah.
“Pemerintah yang harusnya melayani rakyat justeru secara sistemik di banyak kasus kebijakan politik yang dilahirkan dan diterapkan dipaksa oleh hegemoni sistem politik yang diterapkan di negeri ini semakin menyakiti rakyat, menzalimi rakyat, mengkhianati rakyat dan membohongi rakyat”. Ketidak seriusan untuk memperhatikan bagaimana keadaan rakyat sebagai titik tolak untuk merumuskan kebijakan politik pemerintah yang tepat, bijak dan benar semakin terlihat dari semakin gencarnya diperbincangkan akhir-akhir ini tentang standart presentase Parliamentary Treshold pada pembahasan RUU Pemilu. Para Elite Politik dan Elite Penguasa melalui Partai Politiknya sibuk untuk merumuskan kalkulasi angka dukungan massa ketimbang mengedepankan ketulusan dan kesungguhan untuk memperhatikan kalkulasi angka seberapa jauh persoalan rakyat bisa dipahami, diteliti dan kemudian dipecahkan. Ironis di sebuah negeri yang katanya orang dulu –gemah ripah loh jinawi tata tentrem karta raharjo- dihadapkan oleh problem kehidupan politik yang carut marut akibat penampilan para elit politik, elit penguasa, aktor politik dan partai politik dalam konstelasi percaturan politik yang sarat dengan banyak barter kepentingan politik, bargaining politik di tengah keadaan semakin melambungnya utang luar negeri sampai mencapai angka 1.800 triliun rupiah, kebijakan pembangunan yang tidak tepat sasaran, korupsi yang menggurita, pemborosan anggaran negara untuk belanja birokrasi, sumber daya alam yang banyak dieksploitasi asing, legislasi UU/aturan yang tidak pro-rakyat, korporasi negara, mafioso hukum-peradilan dan banyak persoalan lain yang semakin mendorong sebuah pertanyaan besar sudah tepatkah pilihan sistem politik yang disepakati diterapkan di negeri ini ?
A. Demokrasi, Pilihan Sistem Politik sebagai Jalan Dominasi
Penjajahan Asing
Meski mengalami pengertian yang luas dan perumusan definisi yang multi tafsir antara
Meski mengalami pengertian yang luas dan perumusan definisi yang multi tafsir antara
sebagai
sebuah sifat/karakter dari kehidupan politik ataukah sistem penyelenggaraan
pemerintahan/kenegaraan tapi yang jelas Demokrasi memiliki karakter utama
diantaranya bahwa rumusan produk legislasi dalam bentuk aturan atau
undang-undang itu menjadi otoritas/kewenangan manusia. Dengan kata lain, bahwa
manusialah yang berhak sekaligus berwenang untuk menciptakan aturannya sendiri
–as siyadah lil ummah-. Disinilah letak paradoks Demokrasi yang melahirkan
kegamangan bagaimana mungkin manusia mampu secara benar merumuskan aturannya
sendiri. Dalam konteks Demokrasi, saat perumusan sebuah aturan atau
undang-undang maka banyak lahirnya undang-undang adalah representasi sebuah
kompromi di antara berbagai kepentingan yang beredar di tengah-tengah rakyat.
Realitasnya, yang banyak terjadi adalah hegemoni kekuasaan suara mayoritas
terhadap suara minoritas di tubuh parlemen, atas nama rakyat, dan dengan
menggunakan senjata utama mekanisme pengambilan keputusan voting (suara
terbanyak). Pada akhirnya voting dipahami sebagai legitimasi kekuasaan bagi
Penguasa/Pemerintah melalui cap stempel atas nama rakyat untuk melahirkan dan
menerapkan kebijakan politik apapun tidak peduli kebijakan politik itu
menguntungkan atau merugikan rakyat. Demokrasi telah banyak melahirkan aktor
politik maupun aktor penyelenggara negara yang tidak jujur benar-benar berpihak
kepada pelayanan rakyat tetapi sebaliknya banyak melahirkan aktor politik dan
aktor penyelenggara negara yang penuh permainan kamuflase dan ambivalensi
politik yang mencederai nurani rakyat. Kapan menjadi lawan dan kapan menjadi
kawan dalam rivalitas politik terjadi lebih karena pertimbangan pragmatisme
kepentingan. Inilah dilema Demokrasi yang merupakan produk sistem politik
buatan manusia bawaan Para Penjajah sebagai perpanjangan tangan Penjajah
(Barat) untuk menciptakan ketergantungan politik di negara-negara jajahannya
agar bisa didikte dan diarahkan sesuai dengan kepentingan Para Penjajah. Banyak
kebijakan politik yang lebih menguntungkan asing daripada menguntungkan rakyat
adalah implikasi dari longgarnya infrastruktur politik Demokrasi yang
memberikan pintu lebar-lebar bagi intervensi Asing masuk ke negeri ini. Atas
nama keniscayaan dalam peta percaturan politik dunia, Asing secara bebas
menentukan pilihan untuk mengendalikan kehidupan politik, ekonomi, sosial dan
budaya di negeri ini. Kita bisa melihat bagaimana pengakuan IMF, World Bank dan
USAID terkait dengan Liberalisasi Migas
”(pada
sektor migas, Pemerintah berkomitmen: mengganti UU yang ada dengan kerangka
yang lebih modern, melakukan restrukturisasi dan reformasi di tubuh Pertamina,
menjamin bahwa kebijakan fiskal dan berbagai regulasi untuk eksplorasi dan
produksi tetap kompetitif secara internasional, membiarkan
harga domestik mencerminkan harga internasional).Memorandum of Economic and Financial Policies (LoI IMF,
Jan. 2000):
“(Utang-utang
untuk reformasi kebijakan memang merekomendasikan sejumlah langkah seperti
privatisasi danpengurangan subsidi yang
diharapkan dapat meningkatkan efisiensi belanja public, belanja subsidi
khususnya pada BBM cenderung regresif dan merugikan orang miskin ketika subsidi
tersebut jatuh ke tangan orang kaya).”Indonesia Country Assistance Strategy
(World Bank, 2001):…(Pada tahun 2001 USAID bermaksud memberikan bantuan
senilai US$ 4juta [Rp 40 miliar] untuk memperkuat pengelolaan sektor energi dan
membantu menciptakan sektor energi yang lebih efisien dan transparan. Para
penasehat USAID memainkan peran penting dalam membantu pemerintah Indonesia
mengembangkan dan menerapkan kebijakan kunci, perubahan UU dan peraturan);
USAID
telah membantu pembuatan draft UU MIgas yang diajukan ke DPR pada Oktober 2000.
UU tersebut akan meningkatkan kompetisi dan efisiensi dengan mengurangi
peran BUMN dalam melakukan eksplorasi dan produksi);Energy Sector Governance Strengthened (USAID, 2000).
(Pasang
surutnya kemauan politik terhadap reformasi sektor energi akan menjamin
penyesuaian terhadap tujuan ini. Oleh karena itu pengangkatan
Direktur Utama Pertamina yang baru pada tahun 2000 yang berjiwa reformis dan
berorientasi swasta [pasar] sangat mendukung kemajuan agenda reformasi tersebut.
(Pada
tahun 2001 USAID merencanakan untuk menyediakan US$ 850 ribu [Rp 8.5 miliar]
untuk mendukung sejumlah LSM dan Universitas dalam mengembangkan program yang
dapat meningkatkan kesadaran dan mendukung keterlibatan pemerintah lokal dan
publik pada isu-isu sektor energi termasuk menghilangkan
subsidi energi dan menghapus secara bertahap bensin bertimbal)
UU APBN-P 2012 pasal 7
ayat 6a sebagai produk kebijakan politik legislatif yang digunakan acuan untuk
Pemerintah/Penguasa yang menjadi representasi mayoritas suara legislatif untuk
menetapkan kebijakan BBM adalah cerminan semangat ketundukan
Penguasa/Pemerintah terhadap Asing mulai dari lahirnya UU Migas No 22 tahun
2001 yang merupakan revisi dari Prp. No.44 Tahun 1960 tentang Pertambangan
Minyak dan Gas Bumi dan UU No.8/1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan
Gas Bumi yang .tidak relevan lagi. Dan lebih dikuatkan lagi oleh Perpres No.
5/2006 tentang Kebijakan Energi Nasional Pasal 3c. Selanjutnya kebijakan
tersebut diimplementasikan dalam blue
printPengembangan Energi Nasional
2006-2015 Kementrian ESDM. Walaupun hujan yudicial review baik terhadap pasal
28 UU No 22 tahun 2001 maupun UU APBN-P 2012 pasal 7 ayat 6a diajukan oleh
berbagai elemen dan kalangan, tidak peduli apakah bertentangan dengan pasal 33
UUD 1945 ataukah tidak, Penguasa/Pemerintah tetap dengan prinsip yang penting
–so must go on-. Begitu besarnya syahwat melahirkan kebijakan politik yang
tidak lagi memperhatikan nasib rakyat menunjukkan bahwa Regim Penguasa ini
adalah sebagai bagian dari skenario global penjajahan Asing (terutama Amerika
Serikat dan antek-anteknya) alias sebagai “ Antek Penjajah Asing”. Pada
akhirnya dapatlah dipahami bahwa pilihan sistem politik Demokrasi adalah Jalan
Menuju Dominasi Penjajahan Asing dengan segala strateginya melalui Para Antek Penguasa
di Negeri ini.
B.
Khilafah, Sistem
Politik Alternatif Pengganti Sistem Politik Bobrok Demokrasi
Sebagai sebuah sistem
politik manapun apakah sistem Demokrasi ataukah Khilafah maka akan menentukan
pilihan alat-alat/piranti-piranti penyelenggaraan negara beserta aturan
main/hukumnya. Sehingga ada keterkaitan erat antara performa regim dengan
performa sistem politik. Sistem Politik yang bobrok akan melahirkan juga regim
yang bobrok sebaliknya Sistem Politik yang handal dan benar akan melahirkan
juga regim yang amanah dan bisa diandalkan. Allah Taalla telah menjadikan
penciptaan alam dan makhluk di dalamnya sebagai tanda-tanda kekuasaannya. Dan
Allah Taalla telah menjadikan syariat Islam sebagai seperangkat aturan yang
datang untuk memecahkan seluruh problematika kehidupan manusia. Manusia tidak
mungkin mampu merancang aturannya sendiri karena serba dalam keterbatasan.
Manusia hanya memiliki otoritas dengan segala kemampuan dan kreatifitas akalnya
menggali hukum-hukum yang telah diturunkan oleh Sang Pencipta kepada Rasul-Nya
Muhammad SAW. Syariat Islam memuat banyak ketentuan aturan yang mengatur
beragam persoalan kehidupan manusia termasuk penyelenggaraan kehidupan
berbangsa, bernegara, berpemerintahan dan berpolitik. Regim yang mampu
menjalankan syariat Islam adalah Regim yang menjalankan prinsip penyelenggaraan
Negara dan Pemerintahan yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Prinsip
penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan yang bukan hanya janji –wa’dun-
tetapi juga menjadi kewajiban –fardlun-. Sebuah prinsip penyelenggaraan
Negara dan pemerintahan yang selama berabad-abad lamanya menaungi kehidupan
manusia melahirkan peradaban agung manusia di semua bidang kehidupan kurang
lebih 13 abad lamanya. Prinsip penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan yang
dikemas ke dalam sebuah Sistem Politik Khilafah Rasyidah ala minhajin nubuwah.
Sebuah sistem politik yang menumpukan prinsip utamanya –as siyadah lis
syara’- sebagaimana firman Allah Taalla : “Innil Hukmu Illa Lillah” yakni Kedaulatan
ada di tangan Allah Taalla Tuhan Pencipta Manusia beserta Alam seisinya.
Artinya Kewenangan membuat aturan/undang-undang itu ada pada Sang Pencipta,
karena memang Hanya Tuhan Pencipta Manusialah yang paling paham terhadap
karakteristik yang diciptakan termasuk aturan main kehidupan apa yang sesuai
dengan yang diciptakan. Sistem Politik Khilafah inilah yang datang sebagai
Solusi Alternatif Sistem Demokrasi yang bobrok dan akan membebaskan dari
penghambaan atas manusia oleh manusia kepada penghambaan kepada Allah Taalla
Dzat Sang Pencipta Alam dan Manusia.[13]
BAB III
KESIMPULAN
Baru-baru ini Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara Perubahan (RUU APBN-Perubahan) 2012 sudah diumumkan oleh Presiden Sosilo
Bambang Yudoyono (SBY) yang hasilnya Bahan Bakar Minyak urung di naikan.
Rapat paripurna DPR soal Rancangan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara-Perubahan (RAPBN-P) 2012 membuka peluang harga Bahan Bakar Minyak
(BBM) dinaikkan tahun ini. Seperti
diberitakan sebelumnya, hasil voting sidang paripurna DPR memutuskan menerima
tambahan pasal 7 Ayat 6A. Klausul tambahan dalam APBN-P 2012 memberian peluang
pemerintah menaikkan dan menurunkan harga BBM bila harga minyak mentah
Indonesia mengalami kenaikan atau turun rata-rata 15 persen dalam waktu 6 bulan
terakhir. Namun, rencana awal pemerintah
menaikkan harga BBM bersubsidi sebesar Rp 1.500 per liter 1 April 2012 tetap
ditolak. Sebab harga rata-rata 6 bulan terakhir belum 15 persen di atas asumsi
ICP baru sebesar US$ 105/barel.
Dengan
keputusan itu, Menkeu Agus Martowardojo atas nama pemerintah dalam sambutan
akhir seusai sidang Paripurna DPR, menyatakan dapat menerima keputusan sidang
tersebut. "Setelah ikuti
dan cermati dinamika dalam rapat paripurna DPR ini, dan telah diputuskan
pengambilan rumusan baru Pasal 7 Ayat 6a. Pemerintah menyatakan sependapat
dengan hasil itu," katanya. Pemerintah
juga sependapat dengan asumsi baru APBN-P. Yaitu pertumbuhan ekonomi 6,5
persen, inflasi 6,8 persen, harga ICP US$ 105/barel, nilai tukar rupiah Rp
9.000/dolar AS, suku bunga Surat Berharga Negara (SBN) 5 persen, dan lifting
minyak 930 barel per hari.[14]
SOLUSI
“Transportasi
umum mobil ditingkatkan kuantitas maupun kualitasnya supaya masyarakat mau
pindah dari menggunakan kendaraan pribadi pada hari-hari kerja ke transportasi
umum dan hanya menggunakan pada akhir pekan. Ketergantungan yang berlebihan
terhadap energi dan luar negeri adalah ketidakmandirian.” Dua pernyataan
tersebut keluar dari mulut Almarhum Widjajono Partowidagdo, seorang Wakil
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral sekaligus guru besar perminyakan ITB.
Beliau meninggal hari Selasa 21 April 2012 saat melakukan pendakian gunung
Tambora, Nusa Tenggara Barat. Tepat dengan peringatan Hari Kartini.
Kapasitasnya
sebagai Wamen ESDM kala itu tentunya agak kesulitan menerapkan pemikiran
tersebut. Seandainya beliau berada pada posisi yang tepat semasa hidupnya,
mungkin cukup mudah menerapkan kebijakan penggunaan transportasi umum. Saya
sebagai masyarakat biasa sangat setuju dengan pemikiran beliau terkait
penggunaan transportasi umum demi penghematan BBM. Indonesia bagi beliau
merupakan negeri yang sangat boros menggunakan BBM.
Widjajono
mengatakan, orang tidak berpikir menghemat energi atau BBM lagi, tapi menghemat
uang. Hal itulah yang menjadi faktor masyarakat lebih banyak menggunakan
kendaraan pribadi dari pada kendaraan umum. Banyak alasan yang menyebabkan
masyarakat lebih memilih kendaraan pribadi dibanding kendaraan umum. Tiga dari
banyak alasan tesebut yang ingin saya bicarakan, adalah pertama ongkos untuk
kendaraan umum lebih boros dibanding kendaraan pribadi. Untuk membalikan
kondisi tersebut, maka Widjajono menyatakan, BBM bersubsidi hanya boleh
dikonsumsi oleh kendaraan umum dan sepeda motor saja. Kedua kendaraan pribadi
dirasa lebih nyaman. Ini juga menjadi perhatian Widjajono, yakni dengan
meningkatkan kualitas kendaraan umum. Ketiga, untuk memiliki kendaraan pribadi
semacam mobil atau motor saat ini cukup mudah dengan penyediaan kredit atau pembelian
secara berangsur. Harganya juga semakin terjangkau oleh masyarakat umum. Untuk
mengatasinya, maka pemerintah harus mengetatkan peraturan impor kendaraan
pribadi.
Widjajono adalah
sosok yang memiliki ilmu perminyakan yang begitu luas. Pemikiran yang beliau
kemukakan terkait dengan masyarakat. Saat isu kenaikan BBM lah almarhum banyak
mengemukakan ide-idenya demi mengurangi konsumsi BBM, terutama BBM bersubsidi.
Apalagi harga BBM non subsisidi semakin mahal harganya akibat kenaikan minyak
dunia, sehingga masyarakat banyak yang beralih dari BBM non subsidi ke BBM
bersubsidi.
Persoalan
kenaikan harga BBM banyak menuai protes dan polemik. Kenaikan tersebut
dilakukan demi mengurangi beban subsidi supaya anggaran subsidi bisa dialihkan
ke sarana umum dan insfrastruktur. Resep yang dikemukakan oleh Widjajono dalam
mengurangi anggaran subsidi BBM, yaitu mengurangi konsumsi BBM bersubsidi
dengan meningkatkan kuantitas dan kualitas kendaraan umum dan mengurangi
penggunaan kendaraan pribadi. Lebih tegas sebenarnya adalah melarang penggunaan
kendaraan pribadi dan wajib menggunakan kendaraan umum. Sama seperti yang
dikemukakan beliau, kendaraan pribadi hanya dapat digunakan saat akhir pekan
saja. Pengalihan tersebut bukan hanya akan berefek pada pengurangan konsumsi
BBM saja, tapi dapat mengurangi tingkat kemacetan yang sampai saat ini belum
ada yang dapat mengatasiya. Mudah-mudahan ide-ide yang beliau tinggalkan
menjadi amanah yang bisa diterapkan oleh pejabat yang berwenang. Saya adalah
orang yang tidak mengenal Widjajono hanya ingin mengatakan, Selamat jalan Pakar
Perminyakan yang bekerja untuk kepentingan masyarakat.[15]
DAFTAR PUSTAKA
http://santosa-
innovation.blogspot.com/2012/03/kontroversial-pasal-7-ayat-6a.html
[2] Pasal 7 ayat 6A yang dibahas Paripurna Bertentangan
dengan Putusan MK, <http://www.suarapembaruan.com/home/pasal-7-ayat-6a-yang-dibahas-paripurna-bertentangan-dengan-putusan-mk/18652>, SuaraPembaruan.com, diakses 31 Maret 2012.
[4] Ternyata APBN
2012 tak mengatur kenaikan BBM,
<http://waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=239496:ternyata-apbn-2012-tak-mengatur-kenaikan-bbm&catid=18:bisnis&Itemid=95>, Industry.kontan.co.id, diakses 26 Maret 2012.
[6] MPR Nilai Pasal Soal BBM di UU
APBNP 2012 Tak Langgar Konstitusi, <http://news.detik.com/read/2012/04/05/045009/1885584/10/mpr-nilai-pasal-soal-bbm-di-uu-apbnp-2012-tak-langgar-konstitusi>, detikNews.com, diakses 5 April 2012.
[7] Diamandemennya Undang-Undang No. 22 Tahun
2011 tentang APBN tahun 2012,
<http://www.starbrainindonesia.com/site/index.php/news/1699/analisis-atas-diamandemennya-uu-no-22-tahun-2011-tentang-apbn-tahun-anggaran-2012>, Kompas.com, diakses 12 April 2012.
[8] Kontroversial Pasal 7 Ayat 6A di Rapat Paripurna DPR,
<http://santosa-innovation.blogspot.com/2012/03/kontroversial-pasal-7-ayat-6a.html>, republika.co.id, diakses 31 Maret 2012.
[9] Kontroversial Pasal 7 Ayat 6A di Rapat Paripurna DPR,
<http://santosa-
innovation.blogspot.com/2012/03/kontroversial-pasal-7-ayat-6a.html>,tribunnews.com, diakses 31 Maret 2012.
[10] Menyibak Ayat Kontroversial di
UU APBNP 2012, <http://forum.kompas.com/nasional/73914-menyibak-ayat-kontroversial-di-uu-apbnp-2012-a.html>,
diakses 2 April 2012.
[11] Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra akan uji UU APBN Perubahan ke MK, <http://yustisi.com/2012/04/pakar-hukum-tata-negara-yusril-ihza-mahendra-akan-uji-uu-apbn-perubahan-ke-mk/>, yustisi.com, diakses 6 Mei 2012.
[12] Pemerintah
Persilakan Pasal 7 Ayat 6a Digugat, <http://aceh.tribunnews.com/2012/03/31/pemerintah-persilakan-pasal-7-ayat-6a-digugat>,
diakses Sabtu, 31 Maret 2012.
[13]
UU APBN-P 2012 bukti Kebobrokan Regim dan Sistem, <http://www.al-khilafah.org/2012/04/uu-apbn-p-2012-bukti-kebobrokan-regim.html>, Artikel Al-Khilafah, diakses 12 April 2012.
[14] SBY Bahas
Batalnya Kenaikan BBM di Sidang Kabinet , <http://finance.detik.com/read/2012/03/31/101706/1881825/1034/sby-bahas-batalnya-kenaikan-bbm-di-sidang-kabinet>,
finance.detik.com, diakses 31 Maret 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar