Pengikut

Rabu, 09 Mei 2012

makalah RUU APBN-P 2012

Penelusuran Rancangan Undang – Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RUU – APBN-P) 2012


I GEDE KARNANTA
Program Study Ilmu Hukum (S1)
UNIVERSITAS MATARAM
2012



Kata Pengantar
          Puji syukur penulis penjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang atas rahmat-Nya maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Penelusuran Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2012”.
            Dalam Penulisan makalah ini penulis merasa masih banyak kekurangan-kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki penulis. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.
            Dalam penulisan makalah ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan penelitian ini, khususnya kepada :
1. Bapak Johny Koynja, S.H, M.Hum
2. Teman-teman
            Secara khusus penulis menyampaikan terima kasih kepada keluarga tercinta yang telah memberikan dorongan dan bantuan serta pengertian yang besar kepada penulis, baik selama mengikuti perkuliahan maupun dalam menyelesaikan makalah ini.
            Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah memberikan bantuan dalam penulisan makalah ini.
            Akhirnya penulis berharap semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan imbalan yang setimpal pada mereka yang telah memberikan bantuan, dan dapat menjadikan semua bantuan ini sebagai ibadah, Amiin.
Penulis,

I Gede Karnanta, CS




Daftar Isi





Ringkasan Materi

1.     A. Kenaikan BBM demi kebaikan bersama?
         







BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
B. Rumusan Masalah
          1. Apakah kenaikan BBM ini demi kebaikan masyakat Indonesia?
            2. Bagaimana pendapat para pengamat hukum, pengamat politik dan pemerintah                                tentang rumusan pasal 7 ayat (6) maupun ayat (6a)?
          3. Bagaimana sisi politis dari Undang-Undang APBN-P dan diamandemennya                                  Undang-Undang APBN-P?
            4. Apa yang kontroversial dari pasal 7 ayat (6) di rapat paripurna?
            5. Mengapa Undang-Undang APBN-P 2012 harus digugat ke Mahkamah Konstitusi?
            6. Apakah Undang-Undang APBN-P 2012 adalah bukti kebobrokan Regim dan Sistem?
           
C. Tujuan Penelitian
D. Manfaat Penelitian
BAB II
PEMBAHASAN TEORI

2.     A. Kenaikan BBM demi kebaikan bersama?
            Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum menegaskan agar seluruh fraksi Partai Demokrat mendukung kebijakan pemerintah soal kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk menjamin keselamatan ekonomi nasional. Selain itu, Fraksi Demokrat berharap dengan adanya bantuan diharapkan bisa menyelesaikan masalah ini. "Intinya bahwa kebijakan itu diambil oleh pemerintah untuk menjamin keselamatan ekonomi nasional adalah syarat utama keselamatan kehidupan rakyat kita. Oleh karena itu, sama dengan menyelamatkan kehidupan rakyat secara keseluruhan, meski kebijakan itu terasa sangat pahit," jelasnya di Jakarta. Ditambahkannya, perlu ada kebijakan-kebijakan baru untuk perlindungan sosial. Baik dengan memberikan bantuan bersifat langsung atau bantuan yang tidak langsung dalam bentuk program produktif.
"Intinya, Kebijakan itu konkritnya adalah alokasi anggaran dan sekarang sedang dibahas di RAPBNP dan di situlah Fraksi Demokrat berjuang habis-habisan untuk memperjuangkan itu untuk masuk ke APBN," jelasnya.
            Soal kriteria orang-orang yang mendapatkan bantuan program tadi, Anas akan menjamin hal itu akan tepat sasaran. Soal mekanisme pemberian bantuan tersebut juga bisa dirundingkan. Namun, dia sendiri tidak bisa memasatikan itu semua akan diterima oleh orang yang berhak.
"Tepat sasaran itu basisnya data, karena itu pendataannya harus baik dan sempurna, tapi di dunia ini tak ada sempurna 100 persen, kalau ada ternyata salah sasaran 1 persen itu wajar di dunia, kalau mau tepat sasaran 100 persen itu adanya di surga," katanya.[1]

B. Pasal 7 ayat 6A yang dibahas Paripurna Bertentangan dengan Putusan MK
            Fraksi PDI Perjuangan DPR RI menilai, keberadaan Pasal 7 Ayat (6a) bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 002/PUU-I/2003 yang membatalkan Pasal 28 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
Demikian pernyataan Wakil Ketua Bidang Pengaduan Masyarakat Fraksi PDI Perjuangan DPR RI, Eva Kusuma Sundari.

            Isi Pasal 28 Ayat (2) yang dianulir Mahkamah Konsititusi (MK), "Harga bahan bakar minyak dan harga gas bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar". Pasal 7 Ayat (6a) yang telah disepakati dalam Sidang Paripurna DPR RI, Sabtu dini hari, "Dalam hal harga rata-rata minyak Indonesia (Indonesia Crude Oil Price/ICP) dalam kurun waktu berjalan mengalami kenaikan atau penurunan rata-rata sebesar 15 persen dalam enam bulan terakhir dari harga minyak internasional yang diasumsikan dalam APBN Perubahan Tahun Anggaran 2012, maka pemerintah berwenang untuk melakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi dan kebijakan pendukungnya". Eva yang juga Anggota Komisi III (Bidang Hukum & Perundang-undangan, Hak Asasi Manusia, dan Keamanan) DPR RI itu menyatakan, meski kalah pada Sidang Paripurna dengan agenda pembahasan RUU APBN Perubahan 2012, PDI Perjuangan akan tetap memegang teguh konsistensi sikap pro-kedaulatan energi dalam pembahasan RUU APBN-APBN tahun fiskal mendatang. "PDI Perjuangan akan tetap memperjuangkan agar BBM diperlakukan sebagai barang publik (bukan barang dagangan) demi kepentingan rakyat," katanya.
            Menyinggung "walk out" (meninggalkan) pada sidang paripurna itu, dia menjelaskan bahwa Ketua DPR RI Marzuki Alie yang memimpin sidang mengabaikan sikap politik Fraksi PDI Perjuangan yang menolak adanya Pasal 7 (6a) di dalam RUU APBN Perubahan 2012. "Penolakan itu semata demi komitmen DPR RI terhadap prinsip konstitusionalisme," kata Eva yang juga wakil rakyat berasal dari Daerah Pemilihan Jawa Timur VI itu. Fraksi PDI Perjuangan DPR RI menyatakan kecewa dan protes karena pertimbangan dan keberatan atas dua opsi pemungutan suara yang tidak mengakomodasi sikap politik fraksi itu. Ia menjelaskan, penolakan FPDI Perjuangan terhadap kenaikan harga BBM adalah konsekuensi penolakan terhadap pasal selundupan 7 Ayat (6a) dalam RUU APBN Perubahan 2012 yang bertentangan dengan Pasal 7 (6) di UU APBN 2012. Pasal (7) Ayat (6) UU Nomor 22/2011 tentang APBN Tahun 2012 menyebutkan bahwa harga jual eceran bahan bakar minyak bersubsidi tidak mengalami kenaikan. Menurut dia, pemungutan suara yang dikonstruksi pimpinan sidang paripurna justru terhenti pada setuju-tidaknya Pasal 7 (6) UU APBN 2012 yang secara substantif sudah menjadi norma karena sudah mendapat kesepakatan semua fraksi, termasuk PDI Perjuangan.
            Sementara itu, kata dia, pidato Ketua Badan Anggaran (Banggar) Melchias Marcus Mekeng justru menyebut secara eksplisit bahwa problem utama RUU APBNP 2012 justru pada Pasal 7 (6a) yang belum ada kesepakatan semua fraksi sehingga pantas untuk menjadi agenda pemungutan suara.[2]

3.     A. Beberapa pendapat tentang Rumusan pasal 7 ayat (6) dan ayat (6a)
     APBN-P 2012
            Guru Besar Universitas Indonesia (UI) dan pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra, menegaskan, norma pasal 7 ayat 6A Undang Undang APBN-P 2012 potensial dibatalkan Mahkamah Konstitusi. "Karena, selain mengabaikan kedaulatan rakyat dalam menetapkan APBN, juga mengabaikan asas kepastian hukum dan keadilan, sehingga potensial dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK)," ujar Yusril. Ia juga mengemukakan, pihaknya tengah mempersiapkan draft uji formil dan materil Pasal 7 ayat 6A UU APBNP 2012 ke MK. "Saya sudah telaah, bahwa pasal 7 ayat 6A menabrak pasal 33 UUD 1945 seperti yang telah ditafsirkan Mahkamah Konstitusi (MK)." Dikatakannya, saat ini pihaknya telah mempersiapkan naskah uji materil pasal yang baru saja diputuskan DPR RI melalui voting dalam rapat paripurna, Sabtu dinihari. Namun, Yusril yang juga mantan Menkum-HAM itu menambahkan, uji materil ke MK itu belum bisa didaftarkan pada Senin (2/4), karena masih harus menunggu perubahan UU APBN 2012 tersebut disahkan dan diundangkan lebih dulu oleh presiden.  "Pengujian tidak hanya materil, karena bertentangan dengan pasal 33 dan pasal 28D ayat 1 UUD 1945, tapi juga formil karena menabrak syarat-syarat formil pembentukan Undang-Undang sebagaimana diatur dalam UU No 12/2011," tegas Yusril.
            Yusril berulang menyatakan, norma pasal 7 ayat 6A selain mengabaikan kedaulatan rakyat dalam menetapkan APBN, juga mengacuhkan asas kepastian hukum dan keadilan, sehingga potensial dibatalkan MK. Disebutnya, adanya tambahan pasal 7 ayat 6A yang berbunyi "dalam hal harga rata-rata minyak mentah Indonesia (ICP) mencapai 15 persen pemerintah boleh menaikkan harga BBM enam bulan ke depan", bermakna harga BBM diserahkan pada mekanisme pasar. Padahal, berdasarkan keputusan MK terhadap pasal 28 Undang-Undang (UU) Migas, harga BBM tidak boleh diserahkan pada mekanisme pasar. Dengan demikian, adanya opsi pasal 7 ayat 6A tersebut telah membuat DPR dianggap melanggar konstitusi UUD 1945.[3]
            Dalam pembahasan RAPBN-P 2012,  rencana kenaikan harga BBM bersubsidi bulan April terbentur Undang-Undang APBN 2012 yang tidak mengatur kenaikan harga BBM bersubsidi. Menteri Keuangan, Agus Martowardojo meminta DPR untuk mencabut pasal ayat 6 Undang-Undang APBN 2012. Ayat ini mengamanatkan bahwa tahun ini tidak ada kenaikan harga bahan bakar minyak. "Kalau seandainya pasal 7 ayat 6 tidak dilepas, maka jumlah subsidi BBM akan meningkat besar," jelas Agus Martowardojo saat rapat dengan Banggar DPR.
            Untuk volume BBM bersubsidi dapat mencapai di atas 47 juta kiloliter. Angka itu akan melewati jumlah 2,5 defisit APBN. Bila digabung dengan defisit APBD, maka jumlahnya akan melebihi 3 persen atau berpotensi melanggar undang-undang. Jika nanti DPR menyetujui pencabutan pasal tersebut, lanjut Menkeu, maka pembahasan soal perubahan APBN 2012 tidak akan berlarut-larut. Selanjutnya, kata Agus, pemerintah berharap mendapat dukungan dari Banggar DPR bila pemerintah harus menaikkan harga BBM. Saat ini, harga premium dijual di harga Rp4.500 per liter. Dalam RAPBNP 2012, pemerintah mengusulkan kenaikan Rp1.500 per liter.[4]
            Presiden Susilo Bambang Yudhoyono diminta tidak bersenang dulu dengan hasil Sidang Paripurna DPR terhadap pengesahan perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2012 yang disebut APBN-P 2012. Khususnya, terkait dengan kenaikan harga BBM. Sebab, Pasal 7 Ayat 6a yang disetujui DPR antara lain oleh Partai Golkar didukung Partai Demokrat bersama PPP, PAN, dan PKB, berpotensi melanggar UUD 1945, selain juga cacat prosedural saat penyusunannya.
            Hal itu disampaikan anggota DPR Rieke Diah Pitaloka. "Jadi, jangan senang dulu, yang diketok di DPR (hari) Sabtu (itu) cacat prosedural, melanggar Undang-Undang dan melanggar konstitusi (UUD 1945) karena melawan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK)," tandas Rieke.
            Pasal 7 Ayat 6a menyatakan pemerintah boleh menaikan atau menurunkan harga BBM enam bulan ke depan jika harga rata-rata minyak mentah Indonesia (ICP) mencapai 15 persen. "Pasal ini memungkinkan adanya mekanisme pasar, padahal sumber daya alam dan mineral menjadi hajat hidup rakyat banyak atau dikontrol pemerintah sesuai Pasal 33 UUD 1945," tandas Rieke. Menurut Rieke, salah satu pasal di UU Migas yang memungkinkan harga migas diserahkan pada mekanisme pasar telah dibatalkan MK. Oleh sebab itu, APBN-P 2012 juga berpotensi dibatalkan. "Dua opsi yang ditawarkan oleh Ketua DPR Marzuki Alie sudah menggiring DPR pada pelanggaran terhadap UU dan UUD 1945. Karena Pasal 7 Ayat 6 yang berisi harga Jual BBM bersubsidi tidak mengalami kenaikan sudah jadi UU, artinya tak boleh divoting lagi. "Pemaksaan opsi tersebut artinya DPR melanggar UU," ujarnya lagi. Sedangkan tambahan Pasal 6a, lanjut Rieke, yang menyebutkan harga rata-rata minyak mentah Indonesia (ICP) mencapai 15 persen pemerintah boleh menaikan harga BBM enam bulan ke depan, artinya BBM tak boleh diserahkan ke mekanisme pasar.[5]

B. MPR Nilai Pasal Soal BBM di UU APBNP 2012 Tak Langgar Konstitusi
          Wakil ketua MPR RI, Lukman Hakim Saifuddin, mendukung dan menyetujui lahirnya Pasal 7 ayat 6a Undang-Undang APBN-P 2012. Pasal kontroversial ini dinilainya tidak melanggar konstitusi.  "Saya merasa perlu menjelaskan bahwa lahirnya pasal baru tersebut sama sekali tak melanggar konstitusi," kata Lukman. Bunyi pasal 7 ayat 6a Undang-Undang APBN-P 2012 adalah memperbolehkan pemerintah menaikkan harga BBM jika ICP 15 persen dalam jangka waktu 6 bulan. Aturan ini dipandang cukup adil dan berpihak kepada rakyat.
            Lukman mejelaskan harga rata-rata minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Price - ICP) ditentukan dengan patokan West Texas Instrument (WTI) dan pasar komoditas New York. Namun, ICP diputuskan oleh kementerian ESDM, BP Migas, dan Kemenkeu melalui peraturan menteri ESDM. "Meski harga rata-rata minyak mentah Indonesia (ICP) ditentukan dengan menggunakan patokan West Texas Instrument dan NYMEX (pasar komoditas New York), tapi pada dasarnya ICP itu diputuskan oleh tim yang terdiri atas Kementerian ESDM, BP Migas, dan Kemenkeu melalui Peraturan Menteri ESDM. Jadi, ICP bukan harga yg ditetapkan pasar bebas, melainkan ditetapkan Pemerintah, yang merupakan instrumen yang hanya ada pada UU APBN dan Undang-Undang APBN-P saja," ujar wakil ketua umum DPP PPP. Sehingga bagi Lukman harga BBM Indonesia tidak ditentukan oleh pasar bebas dan kenaikan harga BBM tergantung pada pemenuhan syarat yang terdapat dalam ayat 6a. Ditambahkan, ayat 6a tersebut digunakan sebagai bentuk kewenangan pemerintah dalam menaikan harga BBM dan kebijakan pendukung lainnya. "Jadi, harga BBM kita bukanlah harga pasar bebas. Ia (Premium) tetap mendapatkan subsidi (tak sebagaimana pertamax) dan kenaikannya hanya dimungkinkan jika terpenuhi syarat sebagaimana ditentukan Pasal 7 ayat 6a tersebut," ucap Lukman. "Lahirnya ayat baru itu dimaksudkan untuk memberikan kewenangan kepada Pemerintah untuk lakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi dan kebijakan pendukungnya, di saat ICP alami kenaikan atau penurunan melebihi 15 persen selama kurun waktu 6 bulan terakhir dari asumsi Undang-Undang APBN-P 2012 yang dipatok USD 105," jelasnya. Lukman berdalih substansi ayat 6a bukan kewajiban yang harus dijalankan oleh Pemerintah. Melainkan kewenangan yang diberikan oleh negara kepada pemerintah. "Substansi ayat baru itu bukanlah kewajiban yang harus dijalani Pemerintah. Ia adalah kewenangan yang diberikan negara kepada Pemerintah. Artinya, meski harga minyak dunia melambung sedemikian rupa, pemerintah bisa saja tak menaikkan harga BBM. Tapi kalau akan menaikkannya, Pemerintah harus penuhi dulu persyaratan ayat baru tersebut," ujarnya.
            Sehingga disimpulkan oleh Lukman sifat pasal 7 ayat 6a berbeda dengan Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang Migas yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. "Jadi, sifat keberadaan ayat baru tersebut berbeda sama sekali dengan Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Migas yang dibatalkan Mahkamah Konstitusi. Sebab ayat baru tersebut sifatnya lex-specialis atas ayat sebelumnya, dan sama sekali tak mewajibkan pemerintah, melainkan memberi kewenangan kepadanya, yang bisa digunakan dan juga tidak," tutup Lukman.[6]

4.     A. Sisi Politis Naik Turunnya BBM dan Kompensasi Kenaikan Bagi        Rakyat Kecil
          Partai Demokrat (PD) dan Pemerintah mulanya berkeras agar Pasal 7 ayat 6a yang diusulkan untuk ditambahkan dalam Undang-Undang APBN-P 2012, berisi ketentuan apabila terjadi lonjakan harga minyak produksi Indonesia (ICP) rata-rata 10 persen dalam 3 bulan, maka Pemerintah berwenang menaikkan harga BBM untuk menekan biaya subsidi.  Sementara Golkar mengusulkan lonjakan rata-rata 15 persen dalam 6 bulan. Usul Partai Demokrat ini akan kalah  dengan usul Golkar yang memang beda. Apalagi jika ditambah dengan usul PDIP, PKS dan Gerindra serta yang lain, yang sama sekali tidak mau menambah  bunyi Pasal 7 ayat (6) itu dengan ayat (6a) Undang-Undang APBN-P itu. Kalau ada 3 opsi, maka DPR akan gagal ambil keputusan, karena tidak satu usulpun akan mencapai dukungan mayoritas. Dalam menit terakhir menjelang voting, Partai Demokrat rubah haluan ikut Golkar, sehingga mayoritas anggota DPR memilih opsi Golkar yang  didukung Partai Demokrat, PPP, PAN dan PKB. Dengan demikian mereka  mampu mengalahkan keinginan PDIP, PKS dan Gerindra yang tidak mau menaikkan BBM. Harga BBM bisa dinaikkan, tapi bukan usul versi Partai Demokrat, melainkan versi Golkar.
            Kalau usul Partai Demokrat itu yang menang, maka 1 April pastilah harga BBM naik. Sebab lonjakan harga ICP sudah rata-rata di atas 10 persen. Tapi karena ikut versi Golkar, maka kenaikan tak terjadi, sebab lonjakan harus dihitung rata-rata 15 persen dalam 6 bulan, dan  prosentase itu belum tercapai. Tapi, dengan versi Golkar itu, Pemerintah menjadi leluasa untuk menaikkan atau menurunkan harga BBM, jika dalam waktu 6 bulan ke depan ini lonjakan ICP telah mencapai angka rata-rata 15 persen, tanpa memerlukan persetujuan DPR lagi. Kalau kemauan Partai Demokrat yang menang, harga BBM naik 1 April, atau suatu ketika naik jika telah sesuai dengan bunyi Pasal 7 ayat (6a), maka program kompensasi Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM, sejenis BLT dulu) segera berjalan.  Masyarakat miskin yang dapat kompensasi itu jumlahnya 18,5 juta kepala keluarga. Besarnya bantuan telah dianggarkan dalam APBN yakni sebesar Rp 150 ribu untuk setiap kepala keluarga setiap bulan selama 6 bulan.  Kalau satu keluarga rata-rata terdiri atas 4 orang, maka jumlah rakyat yang menikmati BLSM ini berjumlah 74 juta orang. Angka ini potensial untuk mendukung Partai Demokrat dalam Pemilu mendatang, termasuk mendukung pasangan Capres-Cawapres yang mereka usung. Iklan-iklan nanti akan bermunculan di televisi, berisi ucapan terima kasih rakyat  kecil kepada Pak SBY dan Partai Demokrat yang telah bermurah hati memberikan bantuan BLSM. Orang kecil akan mengira, dan akhirnya bukan mustahil akan percaya, bantuan ini memang benar-benar datang dari Pak SBY dan Partai Demokrat sebagai partai berkuasa. Padahal asal uang itu, uang rakyat juga, yang dianggarkan melalui APBN. Menjelang Pemilu 2014, dengan melihat trend yang terjadi setahun belakangan ini, ada kemungkinan harga minyak dunia akan turun. Bukan mustahil pula, Pak SBY akan muncul di televisi mengumumkan harga BBM turun.  Rakyatpun senang. Simpati kian bertambah, citra akan naik,  dan berkahpun akan datang. Opini rakyat kecil dengan mudah dapat dipermainkan dan dibentuk melalui iklan-iklan. Semua ini akan membawa berkah yang luar biasa bagi Partai Demokrat untuk meraup suara dalam Pemilu 2014, sama halnya dengan Pemilu 2009, melalui cara yang hampir sama. Maklumlah orang kecil dan miskin, opininya mudah dibentuk untuk kemudian digiring ke satu arah sesuai kemauan orang yang punya hajat, melalui iklan-iklan di televisi dan radio-radio, yang selalu ditonton dan didengar rakyat kecil di seantero negeri.
            Analisis saya di atas, mungkin saja didasari su'udzdzan. Namun apa yang saya tulis didasarkan pada pengalaman naik-turunnya harga BBM dalam kurun waktu 2004-2009 dan munculnya iklan-iklan di televisi dan radio berisi ucapan terima kasih rakyat kecil kepada Pak SBY. Banyak di antara kita yang sudah lupa dengan kejadian itu.  Bisa saja terulang, tapi bisa juga tidak, tentunya. Namanya saja analisis sosial dan politik, tidaklah bersifat matematis tentunya.


B. Diamandemennya Undang-Undang No. 22 Tahun 2011 tentang APBN tahun 2012
            Sebagaimana diketahui hasil rapat Paripurna DPR pada 30 Maret 2012 telah mengamandemen Undang-Undang No 22 Tahun 2012 tentang APBN Tahun Anggaran 2012 menjadi Undang-Undang APBN-P. Amandemen tersebut terkait dengan naik atau tidaknya harga bahan bakar minyak (BBM) seperti yang diamanatkan Undang-Undang APBN yang ditetapkan pemerintah pada November 2011 lalu.
            Setelah melalui proses politik di DPR, muncullah dua opsi sebagai jalan untuk mengakhiri rapat paripurna itu. Opsi pertama, Pasal 7 ayat 6 tetap dan tidak ada penambahan, sementara opsi kedua, pasal 7 ayat 6 ditambah dengan ayat 6a. Dari putusan yang diambil melalui pemungutan suara (voting) itu, opsi kedua yang dipilih anggota DPR koalisi (Partai Demokrat, Partai Golkar, Partai Kebangkitan Bangsa dan Partai Persatuan Pembangunan)  memperoleh 365 suara, sementara sisanya memperoleh 82 suara (Partai Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera). Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Hati Nurani Rakyat walk out dalam pelaksanaan voting itu.
            Untuk itu, dengan kemenangan dalam memutuskan opsi tersebut, maka dengan sendirinya Undang-Undang APBN akan berubah menjadi Undang-Undang APBN-P dengan mencantumkan ayat tambahan di pasal 7, yakni ayat 6a. Namun demikian proses politik itu tak serta merta berjalan mulus sebab hasil paripurna dengan amandemennya itu ditengarai berbagai kalangan menimbulkan ketidakpastian hukum. Malah banyak yang berpendapat bahwa hasil amandemen Undang-Undang APBN menjadi Undang-Undang APBN-P khususnya di pasal 7 ayat 6 dan ayat 6a bertentangan satu sama lain. Karenanya bukan tidak mungkin sebagian masyarakat akan melakukan yudisial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dengan eksistensi pasal 7 ayat 6 dan ayat 6a Undang-Undang APBN-P Tahun Anggaran 2012 ini. Sebab kemungkinan pasca diamandemennya pasal 7 tersebut akan berdampak pada situasi politik maupun ekonomi masyarakat akibat adanya ketidakpastian soal kenaikan harga BBM tersebut.

a. Implikasi Hukum Amandemen UU APBN
            Jika mencermati hasil amandemen Undang-Undang APBN-P tahun Anggaran 2012, maka bisa diketahui bahwa pasal 7 Undang-Undang itu mendapatkan tambahan ayat di ayat 6, khususnya ayat 6a. Ayat 6 a hasil keputusan rapat paripurna DPR itu berbunyi; “dalam hal harga rata-rata minyak Indonesia dalam kurun waktu berjalan mengalami kenaikan atau penurunan rata-rata sebesar 15% dalam enam bulan terakhir dari harga minyak internasional yang diasumsikan dalam APBN Perubahan Tahun Anggaran 2012, maka pemerintah berwenang untuk melakukan penyesuaian harga BBM”. Sedangkan pada ayat 6 itu tidak mengalami perubahan dan tetap sesuai dengan Undang-Undang APBN sebelumnya yang berbunyi; “harga jual eceran BBM bersubsidi tidak mengalami kenaikan”
            Untuk menjelaskan materi Undang-Undang APBN-P hasil amandemen pada ayat 6a itu, pemerintah melalui Menteri Keuangan menyatakan bahwa harga BBM bersubsidi bisa dinaikkan sewaktu-waktu sebab pasal 7 ayat 6a itu membuka ruang kenaikan bila rata-rata Indonesia Crude Price (ICP) selama enam bulan yang dihitung mundur naik di atas 15 % dari asumsi sebesar US$ 105 per barel. Dengan kata lain, harga BBM akan dinaikkan bila rata-rata ICP di atas US$ 120,75 per barel.
            Pasal 7 ayat 6a itu juga menurut pemerintah selalu menghitung enam bulan terakhir, seperti April, maka mulai dihitung dari Oktober, November, Desember, Januari, Februari dan Maret. Pada bulan Maret 2012 kenyataan yang ada harga ICP itu US$128 per barel, sementara harga rata-rata ICP dalam enam bulan terakhir sudah US$116 per barel atau 11% di atas asumsi APBN-P 2012 yang ditetapkan US$105 per barel. Karena belum mencapai 15 % di atas asumsi APBN-P, harga BBM belum bisa dinaikkan pada April. Menilik isi dan substansi pasal 7 pasca amandemen itu dikaitkan dengan penjelasan pemerintah, maka dalam satu pasal di Undang-Undang APBN-P itu terdapat dua pengertian yang memiliki tafsir yang berbeda. Di satu sisi dalam materi ayat 6, ditegaskan bahwa dengan sendirinya pemerintah tidak menaikkan harga BBM bersubsidi kendati situasi lonjakan harga minyak dunia mengalami fluktuasi sehingga berdampak pada postur APBN yang mendapat tekanan dari ekses tersebut.
            Sementara di pihak lain, melalui ayat 6a, pemerintah memiliki kewenangan untuk menaikkan dan atau menurunkan harga BBM akibat adanya acuan harga minyak internasional yang mengalami kenaikan dan penurunan rata-rata 15%. Artinya dalam ayat 6a ini, mensyaratkan sekaligus kepada pemerintah untuk sewaktu-waktu dapat menaikkan harga BBM kendati dalam ayat 6 pasal 7 Undang-Undang ini secara tegas pemerintah tidak bisa menaikkan dalam situasi apapun yang terjadi. Antara ayat 6 dan ayat 6a dalam pasal 7 Undang-Undang APBN-P itu menunjukkan bahwa dalam satu pasal telah terjadi pertentangan satu sama lain, yang menurut aturan dan pembentukkan  Undang-Undang itu tidak lazim untuk dilakukan. Mengingat dalam pembentukan suatu Undang-Undang diniscayakan adanya satu kesatuan yang utuh dan bulat dari keseluruhan isi Undang-Undang itu yang mudah untuk dipahami masyarakat tatkala implementasi Undang-Undang itu dilakukan pemerintah. Karenanya dimungkinkan bahwa isi pasal tersebut telah menimbulkan ketidakpastian hukum dalam konteks implementasinya di lapangan. Artinya bagaimana mungkin suatu Undang-Undang pada akhirnya bisa diberlakukan menurut situasi obyektif yang disyaratkan dengan mengabaikan materi yang terdapat dalam ayat lainnya di pasal tersebut.
            Ahli Hukum Tata Negara (HTN) Yusril Ihza Mahendra pun mengingatkan, bahwa Pasal 7 Ayat 6a dalam Undang-Undang itu bertentangan dengan Pasal 28 D dan Pasal 33 UUD 1945 . Yusril dalam hal ini merujuk pada penafsiran Mahkamah Konstitusi tahun 2003 ketika pengujian Pasal 28 Undang- undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Di mana ketika itu Mahkamah Konstitusi membatalkan pasal 28 UU No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Dalam amar putusannya Mahkamah Konstitusi menyatakan, pasal 28 ayat 2 dan ayat 3 UU no 22 tahun 2011 bertentangan dengan UUD 1945.
Pasal 28 ayat 2 berbunyi; “harga bahan bakar minyak dan gas bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar, sementara ayat 3; pelaksanaan kebijaksanaan harga sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 tidak mengurangi tanggungjawab sosial pemerintah terhadap golongan masyarakat tertentu.”
            Karena itulah Mahkamah Konstitusi melakukan pencabutan atas pasal 28 ayat 2 tersebut yang mengatur kenaikan harga BBM berdasarkan persaingan usaha yang sehat dan wajar.
(kutipan ayat 2; “harga bahan bakar minyak dan harga gas bumi diserahkan pada mekanisme persaingan”).
                Menurut keputusan Mahkamah Konstitusi, campur tangan pemerintah dalam kebijakan penentuan harga haruslah menjadi kewenangan yang diutamakan untuk cabang produksi yang penting dan atau menguasai hajat hidup orang banyak. Mahkamah Konstitusi juga mendalilkan bahwa pemerintah dapat mempertimbangkan banyak hal dalam menetapkan kebijakan harga BBM, termasuk harga yang ditawarkan oleh mekanisme pasar. Bisa dikatakan, pasal 28 ayat 2 dan 3 di mata Mahkamah Konstitusi lebih mengutamakan mekanisme persaingan, baru kemudian campur tangan pemerintah sebatas menyangkut golongan masyarakat tertentu. Aturan inilah dipandang Mahkamah Konstitusi tidak menjamin makna prinsip demokrasi ekonomi sebagaimana diatur dalam pasal 33 ayat 4 UUD 1945, yang berbunyi “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Karenanya tak heran jika ahli Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra menyatakan, substansi Ayat 6a itu sama dengan Undang-Undang Migas sebelum dibatalkan Mahkamah Konstitusi. Menurutnya, harga minyak dan gas di dalam negeri diserahkan kepada harga pasar sehingga dapat bersifat fluktuatif. Dalam konteks ini amat mungkin pada akhirnya terbuka peluang bagi masyarakat untuk melakukan yudisial review terhadap pasal 7 ayat 6a dalam Undang-Undang APBN-P Tahun Anggaran 2012 tersebut.
            Andai yudisial review dilakukan masyarakat, maka hal yang mencolok untuk dimohonkan kepada majelis hakim Mahkamah Konstitusi  adalah menyangkut eksistensi ayat 6 dan ayat 6a dalam pasal 7 Undang-Undang APBN-P itu. Secara terang pasal tersebut satu sama lain saling beroposisi dalam hal penafsiran mengenai kapan kenaikan harga BBM itu dilaksanakan dan berapa rupiah besaran kenaikan yang akan diputuskan.
            Kendati jika dilihat dalam bulan April ini, pemerintah masih secara eksplisit menggunakan pasal 7 ayat 6 dengan mempertimbangkan apa yang disyaratkan dalam pasal 7 ayat 6a itu. Saat ini pemerintah masih mengacu pada landasan hukum ayat 6 untuk tidak menaikkan harga BBM. Namun demikian pemerintah pun bisa sewaktu-waktu mengacu pada pasal 7 ayat 6a untuk menaikkan harga BBM sepanjang hal itu dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar kemampuan pemerintah, seperti halnya situasi lonjakan minyak dunia akibat krisis Timur Tengah dan sebagainya. Setidaknya bisa dikatakan bahwa, kemungkinan jika pasal 7 ayat 6a dibatalkan Mahkamah Konstitusi, maka pemerintah dengan sendirinya diminta untuk merevisi bunyi ayat tersebut berdasarkan pertimbangan hukum yang diamanatkan oleh majelis hakim Mahkamah Konstitusi. Tentu saja, hal ini akan berimplikasi kepada implementasi kebijakan pemerintah yang secara mutlak tidak bisa lagi mengeluarkan kebijakan untuk menaikkan harga BBM untuk masa selanjutnya di tahun 2012. Namun jika Mahkamah Konstitusi memutuskan sebaliknya, tidak ada jalan lain bagi pemerintah untuk serta merta mengikuti apa yang termaktub dalam bunyi ayat 6a tersebut. Dalam konteks ini, pemerintah memiliki kewenangan mutlak pula untuk mengeluarkan kebijakan mengenai kenaikan harga BBM sepanjang disyaratkan oleh Undang-Undang APBN-P secara keseluruhan itu.
            Di luar itu, selama belum ditandatanganinya Undang-Undang APBN-P oleh presiden, naskah Undang-Undang belum secara resmi bisa diuji materikan terkait persoalan apa dari pasal tersebut yang dimohonkan oleh masyarakat. Namun Mahkamah Konstitusi tampaknya membuka peluang bagi masyarakat untuk mendaftarkan uji materi Undang-Undang APBN-P seraya menunggu ditandatanganinya Undang-Undang itu. Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD menjelaskan, keabsahan pasal 7 ayat 6a Undang-Undang APBN-P 2012 tergantung pihak yang melaporkan ke Mahkamah Konstitusi. Menurut Mahfud, laporan uji materi baru bisa dilaksanakan setelah Undang-Undang ditandatangani presiden yang biasanya diteken setelah tiga bulan. Tiga bulan itu kemudian yudisial review baru bisa diajukan sekaligus memastikan persoalan apa yang dimohonkan oleh pemohon terkait dengan kebijakan kenaikan BBM tersebut.
b. Implikasi Sosial dan Politik
            Secara tidak langsung, diamandemennya UU No 22 Tahun 2011 tentang APBN Tahun Anggaran 2012 menjadi Undang-Undang APBN-P kemungkinan menimbulkan ketidakpastian di masyarakat menyangkut naik atau tidaknya harga BBM. Kendati sejauh ini pemerintah telah memastikan bahwa rencana kenaikan BBM bersubsidi pada 1 April itu tidak jadi untuk diputuskan naik berdasarkan pasal 7 ayat 6 a tersebut karena tidak memenuhi syarat 15 persen, sekaligus mempertimbangkan bunyi ayat 6 itu sendiri. Namun demikian, selama kurun waktu tahun anggaran 2012, pemerintah juga memiliki landasan hukum untuk menaikkan harga BBM berdasarkan pasal 7 ayat 6a itu dengan mengabaikan bunyi ayat 6. Pada titik ini pemerintah memiliki keuntungan yuridis untuk memastikan kenaikan harga BBM  selama tahun anggaran 2012.
            Lepas dari hal itu, secara politis, sesungguhnya pemerintah menghadapi dilema ketika kebijakan kenaikan harga BBM akan digulirkan. Di satu pihak, tekanan politik oleh kelompok dari berbagai elemen masyarakat pada pemerintah akan semakin menguat seiring dengan rencana tersebut, di pihak lain pemerintah dihadapi kenyataan adanya tekanan defisit APBN andai tidak ada kebijakan kenaikan BBM. Dengan kata lain, saat ini posisi politik pemerintah berhadapan langsung dengan masyarakat, buah dari proses politik DPR. Situasi semacam ini kemungkinan akan berimplikasi pada gejolak sosial di masyarakat mengingat tidak adanya kepastian menyangkut naik atau tidaknya BBM di tahun anggaran 2012 ini. Apalagi selama munculnya isu kenaikan harga BBM, diikuti pula oleh kenaikan harga sembako di beberapa daerah walau tidak signifikan angka kenaikannya. Karena itu, setidaknya ada beberapa hal yang muncul pasca amandemen Undang-Undang APBN 2012 terkait dengan rencana naik atau tidaknya harga BBM.
1.        Pemerintah kemungkinan akan kembali mendorong pelaksanaan pembatasan BBM melalui program konversi BBM ke BBG.
2.        Elemen kelompok masyarakat diduga kuat akan mengajukan uji materi ke MK terkait pasal 7 ayat 6a Undang-Undang APBN-P
3.        Kenaikan harga BBM tanpa persetujuan DPR kemungkinan amat rentan munculnya gejolak di masyarakat walaupun pemerintah memiliki kewenangan berdasarkan pasal 7 ayat 6a itu.[7]

5.     Kontroversial Pasal 7 Ayat 6A di Rapat Paripurna DPR
            Rapat Paripurna DPR RI, Sabtu dini hari, sepakat menunda rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) pada 1 April 2012. Namun, keputusan itu terbilang rancu karena isi Pasal 7 Ayat 6a Undang-Undang APBN-P 2012 bertentangan dengan ayat sebelumnya (Pasal 7 Ayat 6). 
    
            Sidang paripurna menyetujui adanya penambahan Ayat 6a yang menyatakan bahwa pemerintah bisa menyesuaikan harga BBM jika harga rata-rata minyak mentah di Indonesia (ICP) naik atau turun hingga lebih dari 15 persen dalam waktu enam bulan. Keputusan tersebut bertentang dengan Pasal 7 Ayat 6 yang isinya menyebutkan bahwa harga jual eceran BBM bersubsidi tidak mengalami kenaikan.

            Wakil Ketua Fraksi Gerindra, Ahmad Muzani, mengatakan penambahan ayat ini berpotensi untuk digugat di Mahkamah Konstitusi (MK). ''Karena, penambahan ayat ini bertentangan dengan Pasal 7 Ayat 6 Undang-Undang APBN-P 2012 yang mengikat pemerintah untuk tidak menaikan harga BBM bersubsidi,'' kata Ahmad. Keberadaan Pasal 7 Ayat 6a ini pun dianggap memungkinkan pemerintah untuk menyesuaikan harga BBM bersubsidi berdasarkan harga pasar. Padahal, substansi ini sudah ditolak oleh Mahkamah Konstitusi ketika uji materi pasal 28 ayat UU 22/2001 tentang migas yang mengatakan harga BBM berdasarkan harga pasar yang wajar. 

            Pakar Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra akan mengajukan uji materi terhadap pasal 7 ayat 6A Undang-Undang APBN-P yang baru saja disahkan DPR. ''Saya sudah telaah bahwa pasal 7 ayat 6A menabrak pasal 33 UUD 1945 seperti ditafsirkan Mahkamah Konstitusi. Saya sedang siapkan draf uji formil dan materil ke Mahkamah Konstitusi. Tapi Senin belum bisa didaftarkan ke Mahkamah Konstitusi karena, harus menunggu perubahan Undang-Undang APBN-P tersebut disahkan dan diundangkan lebih dulu oleh presiden,'' katanya. Pengujian yang dilakukan, ujar dia, tak hanya materil karena bertentangan dengan pasal 33 dan pasal 28D ayat 1 UUD 1945. Tapi juga formil karena menabrak syarat-syarat formil pembentukan undang-undang sebagmana diatur dalam UU Nomor 12/2011.
            Opsi penambahan pasal yang digulirkan Ketua DPR Marzuki Ali dalam rapat paripurna BBM dinilai telah menggiring pada pelanggaran terhadap UUD 1945. "Pasal 7 ayat 6 sudah menjadi undang-undang. Artinya tidak boleh divoting lagi," kata anggota fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Rieke Diah Pitaloka. Ia mengatakan, pemaksaan terhadap adanya opsi penambahan pasal 7 ayat 6A sama artinya DPR telah melanggar Undang-Undang. Dalam pasal tambahan tersebut disebutkan, apabila harga rata-rata minyak mentah Indonesia (ICP) mencapai 15 persen, maka pemerintah boleh menaikkan harga BBM enam bulan ke depan. "BBM akan menyesuaikan harga pasar dunia," ujarnya. Anggota Komisi IX DPR RI itu menambahkan, berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap pasal 28 UU Migas, harga BBM tidak diperbolehkan diserahkan pada mekanisme pasar. "Itu artinya, opsi tersebut juga telah melanggar konsitusi UUD 1945," kata dia.[8]
            Menteri Kordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa menegaskan masuknya pasal 7 ayat 6a Undang-undang APBN-Perubahan 2012 tidak bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi. Untuk diketahui, berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi terhadap pasal 28 Undang-Undang Migas, harga BBM tidak boleh diserahkan pada mekanisme pasar (dunia). Dipastikan, putusan Rapat Paripurna yang menambahkan pasal 7 ayat 6a tidak bertentangan dengan putusan MK tersebut. "Justru di dalamnya sesuai keputusan Mahkamah Konstitusi," tegasnya membantah anggapan banyak pihak pasal tersebut yang menyebutkan “Dalam hal harga rata-rata minyak mentah Indonesia (ICP) mencapai 15% pemerintah boleh menaikkan harga BBM enam bulan ke depan" tidak sesuai dan melawan putusan Mahkamah Konsttusi.
            Menurut Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN), Mahkamah Konstitusi menganulir dan menjelaskan pemerintah menetapkan harga eceran dengan mempehitungkan kelompok masyarakat tertentu. Karenanya, tidak boleh jika tidak ada subsidinya. "Esensi dari Mahkamah Konstitusi itu. Ini kan subsidi masih besar, Rp137 triliun. Besar sekali. Itu tidak mengikuti mekansime pasar," katanya. Hatta Rajasa juga menegaskan menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi hanya boleh diambil pemerintah kala harga rata-rata minyak Indonesia (ICP/Indonesian Crude Price) selama 6 bulan berada di atas 15 persen dari asumsi APBN. Itu berarti kenaikan harga BBM baru dapat dilakukan pemerintah jika ICP sudah menunjukan angka di atas 120,75 dolar AS per barel selama kurun 6 bulan terakhir. Karena asumsi APBN-Perubahan menyebutkan asumsi ICP pada angka 105 dolar AS per barel. Karenanya, tegas Hatta. Pemerintah tidak bisa memperkirakan bulan berapa kenaikan harga BBM akan dilakukan pemerintah. "Kita tidak tahu. Kalau harganya tidak mencapai diatas 120,75 dolar AS per barel dalam 6 bulan terakhir, ya tidak bisa dinaikan," ia menguraikan. Lebih lanjut Hatta menyatakan dengan putusan paripurna memberi ruang bagi pemerintah menaikkan harga BBM pada pasal 7 ayat 6a, tidak berdampak berubahnya postur APBN-P 2012. Untuk itu pemerintah akan melaksanakan hasil itu dengan menjaga risiko fiskal agar tidak berakibat pada jebolnya APBN. "Makanya kita mengusulkan BBM naik Rp1.500. Tapi sebagian melihatnya tidak begitu, makanya kita syukuri sajalah hasil yang sekarang ini. Tidak usah dipolemikan lagi, tidak usah diperdebatkan lagi, nanti habis energi kita memperdebatkan. Pemerintah akan memanage apapun yang sudah menjadi keputusan," ujarnya.
            Pasal 7 ayat 6 dan pasal 7 ayat 6A tidak bisa disatukan karena memiliki fungsi yang bertolak belakang, kenapa? Karena;
·         Bait pertama, harga jual eceran BBM bersubsidi tidak mengalami kenaikan.
·         Bait ke-duapemerintah bisa menyesuaikan harga BBM jika harga rata-rata minyak mentah di Indonesia (ICP) naik atau turun hingga lebih dari 15 persen dalam waktu enam bulan. 
        Jika di suatu kelak pemerintah menaikkan harga BBM, maka memungkinkan dapat digugat secara hukum dengan pasal sebelumnya. Atau begitu pula sebaliknya, jika tidak mengalami kenaikan dapat digugat dengan pasal tambahannya. Salah satu pasal harus dihapus agar tidak menjadi kerancuan di dalam menentukan suatu kebijakan tentang BBM (Bahan Bakar Minyak) di masa yang akan datang. Ini seperti Matahari Kembar, artinya negara dikuasai oleh dua kekuatan yang sama besar dan sangat membahayakan keamanan dan fungsi keperintahan itu sendiri.
            Di dalam agenda Rapat Paripurna di DPR pun mengalami suatu adegan yang seperti sengaja di set untuk direkayasa. Karena sebelumnya perwakilan dari fraksi-fraksi yang secara gamblang namun tidak tegas, seraya mengatakan "Menolak Kenaikan BBM" namun secara mengejutkan setelah pengambilan voting menjadi tidak konsisten dalam memperjuangkan aspirasi dari masyarakat. Beberapa keanehan di dalam agenda tersebut diantaranya:
1.      Masa demonstrasi mulai anarkis dengan merusak pagar dan gerbang komplek gedung DPR, saat itu Marzuki Ali ditelepon oleh seseorang dan seketika itu pula sidang langsung di skors tanpa ada kejelasan sampai kapan akan dimulai kembali. Mungkin ini adalah suatu perintah, agar sidang dan drama dimulai. 
2.      Proses lobi dan kompromi dijalankan sangat lama yakni, sedari pukul 16:00 hingga pukul 22:00, itu artinya sudah ada mekanisme yang sangat panjang dan terencana serta akan menimbulkan drama yang sangat memukau dan segala perubahan dapat terjadi secara tiba-tiba. 
3.      Polisi tetap membiarkan masa demonstran, meskipun telah melewati pukul 18:00 yang seharusnya mereka harus membubarkan diri. Ini taktik dan strategi agar dinilai bagus oleh pembaca berita. 
4.      Namun pada pukul 19:00 masa demonstran mulai tidak sabar dengan menunggu sampai kapan voting dan hasil dari rapat paripurna di DPR. Sehingga di dalam suasana gelap mereka membakar ban dan mulai kembali berorasi, sehingga dengan persiapan mobil water canon dari kepolisian langsung menembaki masa demonstran secara sporadis dan bertubi-tubi tanpa ada jeda sehingga masaa langsung melarikan diri tanpa melakukan perlawanan berarti kepada aparat keamanan. 
5.      Pukul 21:30 komplek gedung DPR telah dikuasai oleh aparat keamanan dan telah bersih dari masa demonstran.
6.      Pukul 22:00 masa sidang di DPR kembali dimulai dan mulai drama sesion ke2. Hujan interupsi dari peserta Rapat paripurna mulai mengarah ke berbagai substansial mengenai keputusan "Naik atau tidaknya harga BBM dan disiarkan di TV One, Metro TV." 
7.      Satu hal yang menarik adalah peserta rapat dipaksa memilih opsi paket;
·         Paket 1; Memilih pasal 7 ayat 6
·         Paket 2; Memilih pasal 7 ayat 6 dan memilih pasal 7 ayat 6A
    Saat melakukan voting itulah Golkar yang semula berkata, "Suara rakyat adalah suara rakyat" kini memilih opsi paket 2, yakni memberikan kesempatan jika harga BBM harus naik. Sementara PKB, PAN, PPP, juga melakukan hal yang sama. Hal yang anehpun terjadi saat dilaksanakannya voting pengambilan suara, dimana PDI dan Hanura melakukan Walk Out atau keluar sidang sehingga pihak/suara penolak kenaikan harga BBM telah mengalami penurunan. Hal yang sangat dikagumi adalah dari PKS dan Gerindra dengan lantang tetap menolak paket 2 tersebut. Meskipun PKS berasal dari koalisi Demokrat.      
            Marzuki Ali di jalan persidanganpun menuai protes karena telah menyepelekan nama PKS "partai keadilan sosial" dan tidak menganggap keberadaan Hanura yang adalah "sisanya". Sehingga pihak-pihak yang merasa tersinggung meminta Marzuki Alie segera meminta maaf. Sekali lagi, ini adalah keanehan yang dibuat-buat, dan pemerintah harus jujur untuk mengakui keadaan yang sebenarnya serta menjalaskan sedetail-detailnya agar presepsi publik tidak mengarah ke hal-hal yang negatif. Karena jika tidak, mungkin pesta demokrasi pemilihan umum tahun 2014 yang akan datang masyarakat akan golput, disebabkan karena calon politikus selalu berhianat atas janji-janji mereka sendiri.,[9]

6.     A. Gugatan Pengesahan Undang-Undang APBN-Perubahan 2012
     ayat 6A ke Mahkamah Konstitusi 
            Hiruk-pikuk sidang paripurna Jumat (30/3) hingga Sabtu (31/3) dini hari lalu telah usai. Namun, putusan DPR itu justru masuk ranah kontroversi. Sidang paripurna DPR akhirnya memutuskan penambahan ayat 6 (a) di pasal 7 UU APBN Perubahan 2012. Dalam ayat itu, pemerintah diberi kewenangan menyesuaikan harga BBM jika harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Price) di atas 15% dalam kurun enam bulan.
            Mantan Menteri Hukum dan HAM Yusril Ihza Mahendra merespon pengesahan UU APBN Perubahan 2012 berencana menggugat ayat 6a ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dia mengemukakan akan menggugat secara formil maupun materil. "Karena pengesahan RUU APBN-P 2012 di DPR menabrak syarat-syarat formil pembentukkan UU, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011," kata Yusril. Lebih dari itu, Yusril menuturkan terjadi kontradiksi antara pasal 7 ayat (6) dengan ayat (6a). Menurut dia, suatu norma hukum tidak bisa saling bertentangan. "Suatu norma tidak bisa bertentangan, tidak mengandung kejelasan dan bersifat multitafsir," jelas Yusril. Menurut dia, pertentangan antara ayat (6) dengan ayat (6a) telah berlangsung dalam sidang paripurna DPR antar-anggota DPR. "Ada tabrakan ayat (6) dengan ayat (6a)," ujar Yusril. Dia juga optimitis gugatan uji materil dan formil UU APBN Perubahan 2012 akan dikabulkan MK. Menurutnya, jika tidak yakin dikabulkan, maka ia tak mungkin mengajukan gugatan. "Kalau tidak yakin, tidak mungkin saya mengajukan gugatan ke MK," seloroh Yusril.
            Sementara terpisah Sekjen DPP PPP Muhammad Romahurmuziy mengatakan penambahan ayat (6a) di UU APBN Perubahan dimaksudkan agar pemerintah tidak bersikap sewenang-wenang menggunakan haknya. "Penggunaan ICP (harga rata-rata minyak mentah Indonesia) pada batang tubuh pasal, tidak berarti mengaitkan harga BBM kepada mekanisme pasar," kata Romi. Menurut dia, ICP bukanlah publish/market rate yang menjadi patokan pasar. ICP hanya dikenal dalam instrumen UU APBN dan APBN-P saja, yang ditetapkan dalam sebuah Permen ESDM. Terkait gugatan formil terhadap UU APBN Perubahan ini, Romi menegaskan pengesahan RUU APBNP 2012 pada 31 Maret 2012 masih sesuai dengan pasal 161 ayat (4) dalam UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang mengatur waktu satu bulan dalam pembahasan dan penetapan APBN. "Mengacu hal tersebut pembahasan RUU APBN-P 2012 dimulai pada 6 Maret 2012. dengan demikian pada 31 Maret 2012 masih dalam rentang waktu yang dibolehkan UU," kata Romi. Oleh karenanya, pihaknya meyakini UU APBNP 2012 yang disahkan pada 31 Maret 2012 lalu sah baik formil maupun materil.[10]

B. Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra akan uji UU APBN

     Perubahan ke MK

            Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra mengaku akan menguji formil dan materil Undang Undang APBN Perubahan (UU APBN Perubahan) yang baru disahkan  31 Maret dini hari menyangkut kewenangan pemerintah mengontrol harga bahan bakar minyak (BBM) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
            Menurutnya, Pasal 7 ayat 6a UU APBN Perubahan telah memberi  kewenangan kepada pemerintah untuk mengontrol harga BBM bersubsidi dalam kurun waktu enam bulan tidak mengandung kepastian hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. “Pasal  menabrak Pasal 33 UUD 1945 seperti ditafsirkan Mahkamah Konstitusi,” katanya.
            Dalam catatan, pada  2003, katanya, Mahkamah Konstitusi pernah membatalkan salah satu pasal Undang Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi isinya menyerahkan harga jual BBM kepada mekanisme pasar, sehingga harganya naik-turun mengikuti fluktuasi harga minyak dunia. Mahkamah Konstitusi  menganggap pasal itu bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945, mengingat minyak dan gas adalah kekayaan alam yang menyangkut hajat hidup orang banyak dan harus dikuasai negara.
            Kata Yusril, selain menabrak UUD 1945,  Pasal 7 ayat 6 dan 6a setelah perubahan, tidaklah memenuhi syarat-syarat formil pembentukan  undang-undang sebagaimana diatur dalam Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan. Prosedur perubahan UU APBN tersebut, menurut Yusril, juga melanggar ketentuan, sehingga secara formil maupun materil dapat dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi[11]

C. Pemerintah Persilakan Pasal 7 Ayat 6a Digugat
          Pemerintah mempersilakan pasal 7 ayat 6a dalam Undang-Undang APBN-P 2012 digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). "Kami tidak bisa melarang orang untuk mengajukan uji materi," terang Menteri Hukum dan HAM, Amir Syamsuddin. Menurutnya, setiap warga negara memiliki hak untuk mengajukan uji materi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. "Ini tergantung kepada orang yang merasa pasal itu bertentangan," ujarnya.
            Sebagai informasi, munculnya pasal 7 ayat 6a yang memberi ruang pemerintah untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) mengundang kontroversi. Bahkan, sejumlah pihak menyebut pasal itu inkonstitusional.
            Partai Hanura telah menyatakan akan mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Hanura menyesalkan forum paripurna yang tidak mendengar aspirasi dari parpol Hanura, PDIP dan Gerindra. Saat voting soal pasal 7 ayat 6a, Hanura melakukan aksi walk out. Bagi Hanura, sidang paripurna itu merupakan pembodohan masyarakat. Karena fraksi-fraksi yang awalnya mengaku menolak ujung-ujungnya setuju untuk kenaikan harga BBM. Fraksi PDIP, yang juga melakukan walk out, akan mempertimbangkan untuk mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Kelompok masyarakat lainnya yang sudah siap melakukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi adalah Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI). Organisasi buruh ini memiliki 483 ribu anggota di seluruh Indonesia.[12]

7.     UU APBN-P 2012 bukti Kebobrokan Regim dan Sistem
          Pro dan Kontra Undang-Undang APBN-P 2012 Pasal 7 ayat 6a di tubuh parlemen merupakan representasi dari carut marutnya kehidupan politik di negeri ini yang lebih menonjolkan politik kekuasaan elite bukan politik pelayanan urusan masyarakat/rakyat –riayatus syuunil ummah-. Ada dua kubu di tubuh parlemen antara kelompok parpol yang sepakat dengan substansi Pasal 7 ayat 6a diwakili oleh Parpol Penguasa seperti Demokrat, PPP, PAN, PKB dan Golkar yang memainkan peran strategis dengan politik dua kakinya yang disinyalir melakukan transaksi politik dengan Demokrat atas pasal 18 Undang-Undang APBN-P 2012 sebagai kompensasi tetap menggoalkan eksistensi Pasal 7 ayat 6a oleh Parpol Penguasa, di lain pihak Kubu Parpol Oposisi yang menolak substansi Pasal 7 ayat 6a diwakili oleh PDI-P, Hanura, Gerindra dan PKS yang belakangan mengambil sikap politik menjadi oposisinya Koalisi dan memainkan peran penting menciptakan arus baru perlawanan sebagai bagian dari strategi investasi politik menjelang Pilpres 2014.
            Kubu oposisi melihat bahwa kebijakan Pemerintah/Penguasa Pasal 7 ayat 6a UU APBN-P 2012 hanyalah menjadi legitimasi yuridis formil kebijakan kenaikan BBM yang benar-benar tidak merepresentasikan aspirasi rakyat. Sebaliknya Kubu Penguasa/Pemerintah dengan strategi status quonya menilai bahwa substansi Pasal 7 ayat 6a sudah pas karena selain tidak bertentangan dengan konstitusi tetapi juga atas dasar pertimbangan perlunya Pemerintah diberikan otoritas/kewenangan untuk melakukan kebijakan yang tepat tentang kenaikan BBM ini dengan standart kenaikan atau penurunan ICP (harga bahan mentah) minyak internasional sebesar 15 % sebagai jalan untuk menyelamatkan perekonomian negara, APBN, dan beberapa alasan lain yang banyak rakyat hampir bisa dipastikan tidak memahaminya karena lebih banyak alasan tekhnis kebijakan publik ketimbang logika sederhana pemenuhan hajat hidup rakyat pada umumnya.
“Rakyat dipaksa untuk mengikuti dan harus tahu logika kebijakan politik Pemerintah/Penguasa yang diambil bukan sebaliknya Penguasa yang harusnya memahami dulu persoalan Rakyat secara mendasar dan menyeluruh lalu setelah itu dijadikan tolak ukur untuk merumuskan kebijakan politik yang tepat dan pro rakyat”. Bukti bahwa kebijakan politik Pemerintah/Penguasa tidak merepresentasikan aspirasi rakyat adalah bahwa meski ada hasil survey yang dilakukan LSI (Lingkaran Survey Indonesia) yang menyatakan bahwa mayoritas rakyat negeri ini sejumlah 86,6 persen menolak/tidak setuju dengan kebijakan kenaikan BBM, Pemerintah tidak melihat ini sebagai hal serius yang dijadikan pertimbangan utama untuk merumuskan kebijakan. Sementara di lain pihak sikap perlawanan yang dilakukan oleh Kelompok Partai Oposisi terhadap kebijakan Pemerintah ini masih menyisakan beberapa pertanyaan besar apakah sebagai bagian dari konsistensi potitioning sikap politik yang –waton berbeda- atau upaya menarik simpati rakyat sebagai investasi politik kekuasaan menuju kursi kekuasaan politik yang dicita-citakan atau sebagai sebuah strategi keniscayaan dalam peta konstelasi politik Demokrasi yang tidak jelas rumusannya alias –multi tafsir-. Pada intinya baik Partai Kubu Pemerintah maupun Partai Kubu Oposisi saat ini tengah memperlihatkan sebuah adegan fragmen atau sandiwara politik kekuasaan yang semakin membuat rakyat bingung, membuat rakyat prihatin, membuat rakyat gak peduli, membuat rakyat tidak klik nuraninya dan membuat rakyat semakin menderita batin di tengah penderitaan riil rakyat secara ekonomi, sosial, budaya dan politik. Belum pernah secara serius dilakukan kajian tentang implikasi kebijakan politik Pemerintah dalam beberapa persoalan termasuk Kebijakan Kenaikan BBM terhadap rakyat meski banyak data menunjukkan semakin meningkatnya angka kemiskinan seperti Data BPS tahun 2010 saja terdapat sejumlah 100 juta orang miskin termasuk juga angka kemiskinan di Jawa Timur sebagai salah satu barometer Indonesia sebagaimana yang disampaikan oleh Kabid Statistik sosial BPS Jawa Timur bahwa Per-September 2011 terdapat sejumlah 5.227.310 jiwa dengan income per-capita 225 ribu rupiah.
“Pemerintah yang harusnya melayani rakyat justeru secara sistemik di banyak kasus kebijakan politik yang dilahirkan dan diterapkan dipaksa oleh hegemoni sistem politik yang diterapkan di negeri ini semakin menyakiti rakyat, menzalimi rakyat, mengkhianati rakyat dan membohongi rakyat”. Ketidak seriusan untuk memperhatikan bagaimana keadaan rakyat sebagai titik tolak untuk merumuskan kebijakan politik pemerintah yang tepat, bijak dan benar semakin terlihat dari semakin gencarnya diperbincangkan akhir-akhir ini tentang standart presentase Parliamentary Treshold pada pembahasan RUU Pemilu. Para Elite Politik dan Elite Penguasa melalui Partai Politiknya sibuk untuk merumuskan kalkulasi angka dukungan massa ketimbang mengedepankan ketulusan dan kesungguhan untuk memperhatikan kalkulasi angka seberapa jauh persoalan rakyat bisa dipahami, diteliti dan kemudian dipecahkan. Ironis di sebuah negeri yang katanya orang dulu –gemah ripah loh jinawi tata tentrem karta raharjo- dihadapkan oleh problem kehidupan politik yang carut marut akibat penampilan para elit politik, elit penguasa, aktor politik dan partai politik dalam konstelasi percaturan politik yang sarat dengan banyak barter kepentingan politik, bargaining politik di tengah keadaan semakin melambungnya utang luar negeri sampai mencapai angka 1.800 triliun rupiah, kebijakan pembangunan yang tidak tepat sasaran, korupsi yang menggurita, pemborosan anggaran negara untuk belanja birokrasi, sumber daya alam yang banyak dieksploitasi asing, legislasi UU/aturan yang tidak pro-rakyat, korporasi negara, mafioso hukum-peradilan dan banyak persoalan lain yang semakin mendorong sebuah pertanyaan besar sudah tepatkah pilihan sistem politik yang disepakati diterapkan di negeri ini ?

A.   Demokrasi, Pilihan Sistem Politik sebagai Jalan Dominasi Penjajahan Asing
      Meski mengalami pengertian yang luas dan perumusan definisi yang multi tafsir antara
sebagai sebuah sifat/karakter dari kehidupan politik ataukah sistem penyelenggaraan pemerintahan/kenegaraan tapi yang jelas Demokrasi memiliki karakter utama diantaranya bahwa rumusan produk legislasi dalam bentuk aturan atau undang-undang itu menjadi otoritas/kewenangan manusia. Dengan kata lain, bahwa manusialah yang berhak sekaligus berwenang untuk menciptakan aturannya sendiri –as siyadah lil ummah-. Disinilah letak paradoks Demokrasi yang melahirkan kegamangan bagaimana mungkin manusia mampu secara benar merumuskan aturannya sendiri. Dalam konteks Demokrasi, saat perumusan sebuah aturan atau undang-undang maka banyak lahirnya undang-undang adalah representasi sebuah kompromi di antara berbagai kepentingan yang beredar di tengah-tengah rakyat. Realitasnya, yang banyak terjadi adalah hegemoni kekuasaan suara mayoritas terhadap suara minoritas di tubuh parlemen, atas nama rakyat, dan dengan menggunakan senjata utama mekanisme pengambilan keputusan voting (suara terbanyak). Pada akhirnya voting dipahami sebagai legitimasi kekuasaan bagi Penguasa/Pemerintah melalui cap stempel atas nama rakyat untuk melahirkan dan menerapkan kebijakan politik apapun tidak peduli kebijakan politik itu menguntungkan atau merugikan rakyat. Demokrasi telah banyak melahirkan aktor politik maupun aktor penyelenggara negara yang tidak jujur benar-benar berpihak kepada pelayanan rakyat tetapi sebaliknya banyak melahirkan aktor politik dan aktor penyelenggara negara yang penuh permainan kamuflase dan ambivalensi politik yang mencederai nurani rakyat. Kapan menjadi lawan dan kapan menjadi kawan dalam rivalitas politik terjadi lebih karena pertimbangan pragmatisme kepentingan. Inilah dilema Demokrasi yang merupakan produk sistem politik buatan manusia bawaan Para Penjajah sebagai perpanjangan tangan Penjajah (Barat) untuk menciptakan ketergantungan politik di negara-negara jajahannya agar bisa didikte dan diarahkan sesuai dengan kepentingan Para Penjajah. Banyak kebijakan politik yang lebih menguntungkan asing daripada menguntungkan rakyat adalah implikasi dari longgarnya infrastruktur politik Demokrasi yang memberikan pintu lebar-lebar bagi intervensi Asing masuk ke negeri ini. Atas nama keniscayaan dalam peta percaturan politik dunia, Asing secara bebas menentukan pilihan untuk mengendalikan kehidupan politik, ekonomi, sosial dan budaya di negeri ini. Kita bisa melihat bagaimana pengakuan IMF, World Bank dan USAID terkait dengan Liberalisasi Migas
”(pada sektor migas, Pemerintah berkomitmen: mengganti UU yang ada dengan kerangka yang lebih modern, melakukan restrukturisasi dan reformasi di tubuh Pertamina, menjamin bahwa kebijakan fiskal dan berbagai regulasi untuk eksplorasi dan produksi tetap kompetitif secara internasional, membiarkan harga domestik mencerminkan harga internasional).Memorandum of Economic and Financial Policies (LoI IMF, Jan. 2000):
“(Utang-utang untuk reformasi kebijakan memang merekomendasikan sejumlah langkah seperti privatisasi danpengurangan subsidi yang diharapkan dapat meningkatkan efisiensi belanja public, belanja subsidi khususnya pada BBM cenderung regresif dan merugikan orang miskin ketika subsidi tersebut jatuh ke tangan orang kaya).”Indonesia Country Assistance Strategy (World Bank, 2001):…(Pada tahun 2001 USAID bermaksud memberikan bantuan senilai US$ 4juta [Rp 40 miliar] untuk memperkuat pengelolaan sektor energi dan membantu menciptakan sektor energi yang lebih efisien dan transparan. Para penasehat USAID memainkan peran penting dalam membantu pemerintah Indonesia mengembangkan dan menerapkan kebijakan kunci, perubahan UU dan peraturan);
USAID telah membantu pembuatan draft UU MIgas yang diajukan ke DPR pada Oktober 2000. UU tersebut akan meningkatkan kompetisi dan efisiensi dengan mengurangi peran BUMN dalam melakukan eksplorasi dan produksi);Energy Sector Governance Strengthened (USAID, 2000).
(Pasang surutnya kemauan politik terhadap reformasi sektor energi akan menjamin penyesuaian terhadap tujuan ini. Oleh karena itu pengangkatan Direktur Utama Pertamina yang baru pada tahun 2000 yang berjiwa reformis dan berorientasi swasta [pasar] sangat mendukung kemajuan agenda reformasi tersebut.
(Pada tahun 2001 USAID merencanakan untuk menyediakan US$ 850 ribu [Rp 8.5 miliar] untuk mendukung sejumlah LSM dan Universitas dalam mengembangkan program yang dapat meningkatkan kesadaran dan mendukung keterlibatan pemerintah lokal dan publik pada isu-isu sektor energi termasuk menghilangkan subsidi energi dan menghapus secara bertahap bensin bertimbal)
            UU APBN-P 2012 pasal 7 ayat 6a sebagai produk kebijakan politik legislatif yang digunakan acuan untuk Pemerintah/Penguasa yang menjadi representasi mayoritas suara legislatif untuk menetapkan kebijakan BBM adalah cerminan semangat ketundukan Penguasa/Pemerintah terhadap Asing mulai dari lahirnya UU Migas No 22 tahun 2001 yang merupakan revisi dari Prp. No.44 Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi dan UU No.8/1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi yang .tidak relevan lagi. Dan lebih dikuatkan lagi oleh Perpres No. 5/2006 tentang Kebijakan Energi Nasional Pasal 3c. Selanjutnya kebijakan tersebut diimplementasikan dalam blue printPengembangan Energi Nasional 2006-2015 Kementrian ESDM. Walaupun hujan yudicial review baik terhadap pasal 28 UU No 22 tahun 2001 maupun UU APBN-P 2012 pasal 7 ayat 6a diajukan oleh berbagai elemen dan kalangan, tidak peduli apakah bertentangan dengan pasal 33 UUD 1945 ataukah tidak, Penguasa/Pemerintah tetap dengan prinsip yang penting –so must go on-. Begitu besarnya syahwat melahirkan kebijakan politik yang tidak lagi memperhatikan nasib rakyat menunjukkan bahwa Regim Penguasa ini adalah sebagai bagian dari skenario global penjajahan Asing (terutama Amerika Serikat dan antek-anteknya) alias sebagai “ Antek Penjajah Asing”. Pada akhirnya dapatlah dipahami bahwa pilihan sistem politik Demokrasi adalah Jalan Menuju Dominasi Penjajahan Asing dengan segala strateginya melalui Para Antek Penguasa di Negeri ini.

B.     Khilafah, Sistem Politik Alternatif Pengganti Sistem Politik Bobrok Demokrasi
            Sebagai sebuah sistem politik manapun apakah sistem Demokrasi ataukah Khilafah maka akan menentukan pilihan alat-alat/piranti-piranti penyelenggaraan negara beserta aturan main/hukumnya. Sehingga ada keterkaitan erat antara performa regim dengan performa sistem politik. Sistem Politik yang bobrok akan melahirkan juga regim yang bobrok sebaliknya Sistem Politik yang handal dan benar akan melahirkan juga regim yang amanah dan bisa diandalkan. Allah Taalla telah menjadikan penciptaan alam dan makhluk di dalamnya sebagai tanda-tanda kekuasaannya. Dan Allah Taalla telah menjadikan syariat Islam sebagai seperangkat aturan yang datang untuk memecahkan seluruh problematika kehidupan manusia. Manusia tidak mungkin mampu merancang aturannya sendiri karena serba dalam keterbatasan. Manusia hanya memiliki otoritas dengan segala kemampuan dan kreatifitas akalnya menggali hukum-hukum yang telah diturunkan oleh Sang Pencipta kepada Rasul-Nya Muhammad SAW. Syariat Islam memuat banyak ketentuan aturan yang mengatur beragam persoalan kehidupan manusia termasuk penyelenggaraan kehidupan berbangsa, bernegara, berpemerintahan dan berpolitik. Regim yang mampu menjalankan syariat Islam adalah Regim yang menjalankan prinsip penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Prinsip penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan yang bukan hanya janji –wa’dun- tetapi juga menjadi kewajiban –fardlun-. Sebuah prinsip penyelenggaraan Negara dan pemerintahan yang selama berabad-abad lamanya menaungi kehidupan manusia melahirkan peradaban agung manusia di semua bidang kehidupan kurang lebih 13 abad lamanya. Prinsip penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan yang dikemas ke dalam sebuah Sistem Politik Khilafah Rasyidah ala minhajin nubuwah. Sebuah sistem politik yang menumpukan prinsip utamanya –as siyadah lis syara’- sebagaimana firman Allah Taalla : “Innil Hukmu Illa Lillah” yakni Kedaulatan ada di tangan Allah Taalla Tuhan Pencipta Manusia beserta Alam seisinya. Artinya Kewenangan membuat aturan/undang-undang itu ada pada Sang Pencipta, karena memang Hanya Tuhan Pencipta Manusialah yang paling paham terhadap karakteristik yang diciptakan termasuk aturan main kehidupan apa yang sesuai dengan yang diciptakan. Sistem Politik Khilafah inilah yang datang sebagai Solusi Alternatif Sistem Demokrasi yang bobrok dan akan membebaskan dari penghambaan atas manusia oleh manusia kepada penghambaan kepada Allah Taalla Dzat Sang Pencipta Alam dan Manusia.[13]

BAB III
KESIMPULAN

            Baru-baru ini Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RUU APBN-Perubahan) 2012 sudah diumumkan oleh Presiden Sosilo Bambang Yudoyono (SBY) yang hasilnya Bahan Bakar Minyak urung di naikan.
            Rapat paripurna DPR soal Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara-Perubahan (RAPBN-P) 2012 membuka peluang harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dinaikkan tahun ini. Seperti diberitakan sebelumnya, hasil voting sidang paripurna DPR memutuskan menerima tambahan pasal 7 Ayat 6A. Klausul tambahan dalam APBN-P 2012 memberian peluang pemerintah menaikkan dan menurunkan harga BBM bila harga minyak mentah Indonesia mengalami kenaikan atau turun rata-rata 15 persen dalam waktu 6 bulan terakhir. Namun, rencana awal pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi sebesar Rp 1.500 per liter 1 April 2012 tetap ditolak. Sebab harga rata-rata 6 bulan terakhir belum 15 persen di atas asumsi ICP baru sebesar US$ 105/barel.
            Dengan keputusan itu, Menkeu Agus Martowardojo atas nama pemerintah dalam sambutan akhir seusai sidang Paripurna DPR, menyatakan dapat menerima keputusan sidang tersebut. "Setelah ikuti dan cermati dinamika dalam rapat paripurna DPR ini, dan telah diputuskan pengambilan rumusan baru Pasal 7 Ayat 6a. Pemerintah menyatakan sependapat dengan hasil itu," katanya. Pemerintah juga sependapat dengan asumsi baru APBN-P. Yaitu pertumbuhan ekonomi 6,5 persen, inflasi 6,8 persen, harga ICP US$ 105/barel, nilai tukar rupiah Rp 9.000/dolar AS, suku bunga Surat Berharga Negara (SBN) 5 persen, dan lifting minyak 930 barel per hari.[14]


SOLUSI
            “Transportasi umum mobil ditingkatkan kuantitas maupun kualitasnya supaya masyarakat mau pindah dari menggunakan kendaraan pribadi pada hari-hari kerja ke transportasi umum dan hanya menggunakan pada akhir pekan. Ketergantungan yang berlebihan terhadap energi dan luar negeri adalah ketidakmandirian.” Dua pernyataan tersebut keluar dari mulut Almarhum Widjajono Partowidagdo, seorang Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral sekaligus guru besar perminyakan ITB. Beliau meninggal hari Selasa 21 April 2012 saat melakukan pendakian gunung Tambora, Nusa Tenggara Barat. Tepat dengan peringatan Hari Kartini.
            Kapasitasnya sebagai Wamen ESDM kala itu tentunya agak kesulitan menerapkan pemikiran tersebut. Seandainya beliau berada pada posisi yang tepat semasa hidupnya, mungkin cukup mudah menerapkan kebijakan penggunaan transportasi umum. Saya sebagai masyarakat biasa sangat setuju dengan pemikiran beliau terkait penggunaan transportasi umum demi penghematan BBM. Indonesia bagi beliau merupakan negeri yang sangat boros menggunakan BBM.
            Widjajono mengatakan, orang tidak berpikir menghemat energi atau BBM lagi, tapi menghemat uang. Hal itulah yang menjadi faktor masyarakat lebih banyak menggunakan kendaraan pribadi dari pada kendaraan umum. Banyak alasan yang menyebabkan masyarakat lebih memilih kendaraan pribadi dibanding kendaraan umum. Tiga dari banyak alasan tesebut yang ingin saya bicarakan, adalah pertama ongkos untuk kendaraan umum lebih boros dibanding kendaraan pribadi. Untuk membalikan kondisi tersebut, maka Widjajono menyatakan, BBM bersubsidi hanya boleh dikonsumsi oleh kendaraan umum dan sepeda motor saja. Kedua kendaraan pribadi dirasa lebih nyaman. Ini juga menjadi perhatian Widjajono, yakni dengan meningkatkan kualitas kendaraan umum. Ketiga, untuk memiliki kendaraan pribadi semacam mobil atau motor saat ini cukup mudah dengan penyediaan kredit atau pembelian secara berangsur. Harganya juga semakin terjangkau oleh masyarakat umum. Untuk mengatasinya, maka pemerintah harus mengetatkan peraturan impor kendaraan pribadi.
            Widjajono adalah sosok yang memiliki ilmu perminyakan yang begitu luas. Pemikiran yang beliau kemukakan terkait dengan masyarakat. Saat isu kenaikan BBM lah almarhum banyak mengemukakan ide-idenya demi mengurangi konsumsi BBM, terutama BBM bersubsidi. Apalagi harga BBM non subsisidi semakin mahal harganya akibat kenaikan minyak dunia, sehingga masyarakat banyak yang beralih dari BBM non subsidi ke BBM bersubsidi.
            Persoalan kenaikan harga BBM banyak menuai protes dan polemik. Kenaikan tersebut dilakukan demi mengurangi beban subsidi supaya anggaran subsidi bisa dialihkan ke sarana umum dan insfrastruktur. Resep yang dikemukakan oleh Widjajono dalam mengurangi anggaran subsidi BBM, yaitu mengurangi konsumsi BBM bersubsidi dengan meningkatkan kuantitas dan kualitas kendaraan umum dan mengurangi penggunaan kendaraan pribadi. Lebih tegas sebenarnya adalah melarang penggunaan kendaraan pribadi dan wajib menggunakan kendaraan umum. Sama seperti yang dikemukakan beliau, kendaraan pribadi hanya dapat digunakan saat akhir pekan saja. Pengalihan tersebut bukan hanya akan berefek pada pengurangan konsumsi BBM saja, tapi dapat mengurangi tingkat kemacetan yang sampai saat ini belum ada yang dapat mengatasiya. Mudah-mudahan ide-ide yang beliau tinggalkan menjadi amanah yang bisa diterapkan oleh pejabat yang berwenang. Saya adalah orang yang tidak mengenal Widjajono hanya ingin mengatakan, Selamat jalan Pakar Perminyakan yang bekerja untuk kepentingan masyarakat.[15]



DAFTAR PUSTAKA

http://santosa- innovation.blogspot.com/2012/03/kontroversial-pasal-7-ayat-6a.html


[2] Pasal 7 ayat 6A yang dibahas Paripurna Bertentangan dengan Putusan MK, <http://www.suarapembaruan.com/home/pasal-7-ayat-6a-yang-dibahas-paripurna-bertentangan-dengan-putusan-mk/18652>, SuaraPembaruan.com, diakses 31 Maret 2012.
[6] MPR Nilai Pasal Soal BBM di UU APBNP 2012 Tak Langgar Konstitusi, <http://news.detik.com/read/2012/04/05/045009/1885584/10/mpr-nilai-pasal-soal-bbm-di-uu-apbnp-2012-tak-langgar-konstitusi>, detikNews.com, diakses 5 April 2012.
[7] Diamandemennya Undang-Undang No. 22 Tahun 2011 tentang APBN tahun 2012, <http://www.starbrainindonesia.com/site/index.php/news/1699/analisis-atas-diamandemennya-uu-no-22-tahun-2011-tentang-apbn-tahun-anggaran-2012>, Kompas.com, diakses 12 April 2012.
[8] Kontroversial Pasal 7 Ayat 6A di Rapat Paripurna DPR, <http://santosa-innovation.blogspot.com/2012/03/kontroversial-pasal-7-ayat-6a.html>, republika.co.id, diakses 31 Maret 2012.
[9] Kontroversial Pasal 7 Ayat 6A di Rapat Paripurna DPR, <http://santosa- innovation.blogspot.com/2012/03/kontroversial-pasal-7-ayat-6a.html>,tribunnews.com, diakses 31 Maret 2012.
[10] Menyibak Ayat Kontroversial di UU APBNP 2012, <http://forum.kompas.com/nasional/73914-menyibak-ayat-kontroversial-di-uu-apbnp-2012-a.html>, diakses 2 April 2012.
[12] Pemerintah Persilakan Pasal 7 Ayat 6a Digugat, <http://aceh.tribunnews.com/2012/03/31/pemerintah-persilakan-pasal-7-ayat-6a-digugat>, diakses Sabtu, 31 Maret 2012.
[13] UU APBN-P 2012 bukti Kebobrokan Regim dan Sistem, <http://www.al-khilafah.org/2012/04/uu-apbn-p-2012-bukti-kebobrokan-regim.html>, Artikel Al-Khilafah, diakses 12 April 2012.
[14] SBY Bahas Batalnya Kenaikan BBM di Sidang Kabinet , <http://finance.detik.com/read/2012/03/31/101706/1881825/1034/sby-bahas-batalnya-kenaikan-bbm-di-sidang-kabinet>, finance.detik.com, diakses 31 Maret 2012.

[15] Alm. Widjajono Partowidagdo tentang Kendaraan Umum, <http://sosok.kompasiana.com/2012/04/23/alm-widjajono-partowidagdo-tentang-kendaraan-umum/>, Kompasiana.com, diakses 23 April 2012.


Tidak ada komentar: